Masa Transisi Remaja
Dampingi Masa Transisi Remaja
Astri Dwi Andriani S Ikom
Alumni Fikom Unpi Cianjur
pic by google |
Mengupas persoalan remaja
memang sangat menarik. Karena di usia remaja banyak persoalan kompleks yang
terjadi, yang tentunya akan menjadi awal pembetukan karakter di kehidupannya
yang akan datang.
Dari beberapa referensi yang penulis baca, remaja sendiri
berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau
tumbuh menjadi dewasa. Istilahadolensence sendiri mempunyai arti yang lebih luas
lagi yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992).
Pasa masa
ini sebenarnya remaja tidak mempunyai tempat yang jelas karena tidak
termasuk golongan anak tetapi tidak juga golongan dewasa atau tua. Seperti yang
dikemukakan oleh Calon (dalam Monks, dkk 1994) bahwa masa
remaja menunjukkan dengan jelas sifat transisi atau peralihan karena
remaja belum memperoleh status dewasa dan tidak lagi memiliki status anak.
Menurut Sri Rumini &
Siti Sundari (2004: 53) masa remaja adalah peralihan dari masa anak
dengan masa dewasa yang mengalami perkembangan semua aspek/ fungsi untuk
memasuki masa dewasa.
Masa
remaja berlangsung antara umur 12 tahun sampai dengan 21 tahun bagi wanita
dan 13 tahun sampai dengan 22 tahun bagi pria. Sedangkan pengertian
remaja menurut Zakiah Darajat (1990: 23) adalah: masa peralihan diantara
masa kanak-kanak dan dewasa.
Dalam masa ini anak
mengalami masa pertumbuhan dan masa perkembangan fisiknya maupun perkembangan
psikisnya. Mereka bukanlah anak-anak baik bentuk badan ataupun cara berfikir
atau bertindak, tetapi bukan pula orang dewasa yang telah matang.
Pengertian remaja juga
diungkapkan oleh Santrock (2003: 26). Menurutnya masa remaja adalah masa
perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan
biologis, kognitif, dan sosial-emosional. Batasan usia remaja yang umum
digunakan oleh para ahli adalah antara 12 hingga 21 tahun.
Rentang waktu usia
remaja ini biasanya dibedakan atas tiga, yaitu 12 – 15 tahun = masa remaja
awal, 15 – 18 tahun = masa remaja pertengahan, dan 18 – 21 tahun = masa remaja
akhir.
Tetapi Monks, Knoers,
dan Haditono membedakan masa remaja menjadi empat bagian, yaitu masa pra-remaja
10 – 12 tahun, masa remaja awal 12 – 15 tahun, masa remaja pertengahan 15 – 18
tahun, dan masa remaja akhir 18 – 21 tahun (Deswita, 2006: 192).
Di masa ini remaja kerap
dibenturkan pada masalah awal ‘kehidupan’. Satu diantaranya adalah proses
pencarian jati diri. Pada masa itu sebagian besar remaja biasanya mengalami
gejolak akan tujuan hidup yang akan dia capai.
Satu diantaranya adalah
keinginan jangka pendek seperti ingin memiliki telepon genggam baru, ingin
memiliki pacar baru, sepatu baru, motor baru, dan lainnya. Keinginan jangka
pendek ini biasanya berkaitan dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungan di mana
dia berada.
Lebih dari itu, pada
proses pencarian jati diri biasanya remaja akan cenderung gelisah saat memiliki
pertanyaan mengenai tujuan hidup. Biasanya akan timbul pertanyaan-pertanyaan
filosofis dalam dirinya.
Seperti cita-cita yang
ingin diraih, jenis pekerjaan yang harus dicapai, kriteria calon pendamping
hidup, hingga tujuan dia hidup dunia dan keberadaannya sebagai makhluk Tuhan
YME.
Di masa ini remaja juga
mengalami sikluk emosional yang meledak-ledak. Hal ini terjadi karena emosi
remaja masih stabil, sering menggebu-gebu, sangat bersemangat, namun mudah
putus asa.
Pada masa ini biasanya
kaum remaja lebih menonjolkan diri untuk mendapatkan perhatian dari
lingkungannya. Pada masa ini keluarga, teman, sekolah, dan lingkungan sangat
berperan penting.
Lingkungan tempat remaja
tinggal dan berinteraksi, sedikit banyak akan memengaruhi dalam mengarahkan dan
mengantarkan remaja dalam kehidupan yang sebenarnya, saat ini menginjak dewasa.
Orangtua dan guru
sebaiknya mendampingi masa transisi remaja ini. Karena akan menentukan kualitas
hidup remaja di masa yang akan datang.
Hal ini dapat dilakukan
dengan cara aktif berinteraksi dengan remaja, seperti memberikan perhatian yang
optimal, mendengarkan cerita (karena bercerita adalah kebutuhan dasar setiap
orang), berusaha memenuhi kebutuhan remaja, hingga menjadi pemberi solusi yang
baik pada saat remaja tengah mengalami masalah.
Satu hal yang kerap
salah dilakukan orangtua adalah sikap yang ditunjukan pada saat remaja
melakukan kesalahan. Untuk sebagian orangtua yang memiliki tingkat emosional
yang tinggi, pada saat anak melakukan kesalahan biasanya mereka langsung
memarahi anak dengan cara menghina (mengolok-olok), berkata kasar, membentak,
marah di depan umum, hingga menggunakan kekerasan fisik.
Menurut penulis hal
tersebut merupakan tindakan yang kurang tepat. Karena, bukan akan berdampak
pada anak menjadi orang yang rendah diri (karena diolok-olok), jadi pribadi
yang kasar (karena sering dikasari), jadi penakut (karena dibentak), dan
menjadi pemberontak (karena orangtua terlalu keras). Lebih dari itu, akan terjadi
kekhawatiran yang besar, saat remaja merasa dirinya tidak berharga dan merasa
kecewa pada lingkungan keluarga. Sehingga anak akan mencari kenyamanan di luar.
Hal ini biasanya memicu
kenakalan remaja seperti merokok, minum-minuman keras, penyalahgunaan NAPSA,
maupun seks bebas. Karena hal tersebut kerap dianggap pelarian dari kekecewaan
yang mereka hadapi saat mengalami broken
home. Meski, broken home memiliki banyak faktor penyebab.
Solusi yang bisa
dilakukan adalah menjadi teman (pendamping) yang baik bagi remaja. Berusaha
manusiawi, dengan melihat sisi baik remaja terlebih dahulu saat dia melakukan
kesalahan. Menghargai perasaan remaja dimana pun berada, dan memberikan contoh
yang baik bagi remaja agar bisa diikuti.
Karena nasihat paling
baik adalah sebuah sikap yang bisa diteladani. Semoga bermanfaat.(*)
Komentar
Posting Komentar