TEORI KOMUNIKASI dan TURUNANNYA



PARADIGMA : POSITIVISTIK
Menurut paradigma positivisme, komunikasi merupakan sebuah proses linier atau proses sebab akibat yang mencerminkan upaya pengirim pesan untuk mengubah pengetahuan penerima pesan yang pasif (Ardianto, 2009). Paradigma ini memandang proses komunikasi ditentukan oleh pengirim (source - oriented). Berhasil atau tidaknya sebuah proses komunikasi bergantung pada upaya yang dilakukan oleh pengirim dalam mengemas pesan, menarik perhatian penerima ataupun mempelajari sifat dan karakteristik penerima untuk menentukan strategi penyampaian pesan.
Positivistik memandang realitas dikendalikan oleh hukum-hukum alam  dan mekanisme yang tidak dapat diubah (Denzin dan Lincoln, 2009). Hukum jika… maka… memainkan peran yang sangat sentral. Jika air dipanaskan maka akan mendidih, jika air diberi garam maka akan terasa asin, jika anak diberi tontotan kekerasan maka dia akan meniru adegan tersebut, jika seseorang menonton iklan maka dia akan membeli produk yang diiklankan dan jika maka yang lain.
Prinsip jika – maka tersebut mengindikasikan ciri positivisme yang lain, yaitu alam dan kehidupan bukan lagi dipahami sebagai hasil campur tangan yang Ilahiah atau berdasar prinsip-prinsip spekulasi, melainkan sebagai sesuatu yang pasti, nyata dan berguna (Ardianto, 2009). 




GRAND TEORI : S – R 
Teori itu bernama Stimlus Respon (SR) yang dicetuskan oleh John Dollard dan Neal E. Miller. Inti teorinya menyatakan bahwa ketika suatu individu diberikan stimulus tertentu, maka individu tersebut akan memberikan respon tertentu pula. 
Teori ini memang berakar dari konsep behavioral atau kebiasaan manusia. Ini terkendali di alam bawah sadar, sehingga kita tidak sempat untuk mengontrolnya. Sangat mirip dengan konsep gerak refleks karena tidak sempat diolah oleh otak. Dalam ranah psikologi, dikatakan bahwa perilaku stimulus respon menjadi dasar dari kepribadian seseorang. Misalnya, kita akan langsung marah bila kita dituduh menjatuhkan vas bunga. Meskipun memang benar bahwa kita yang menjatuhkannya. Namun karena respon refleks kita adalah marah, maka psikologi akan mengkategorikan kita sebagai pribadi yang temperamental. Karena alam bawah sadar tidak pernah berbohong. 
MIDDLE R THEORY : S – M – C – R
Rumus S – M – C – R adalah singkatan dari istilah : S singkatan dari source yang berarti sumber atau komunikator; M singkatan dari message yang berarti pesan; C singkatan dari channel yang berarti saluran atau media, sedangkan R singkatan dari receiver yang berarti penerima atau komunikan.
Khusus mengenai istilah channel yang disingkat C pada rumus S – M – C – R itu berarti saluran atau media, komponen tersebut menurut Edward Sappir mengandung dua pengertian, yakni primer dan sekunder. Media sebagai saluran primer adalah lambang, misalnya bahasa, kial (gesture), gambar atau warna, yaitu lambang – lambang yang dipergunakan khusus dalam komunikasi tatap muka, sedangkan media sekunder adalah media yang terwujud, baik media massa, misalnya surat kabar, televise atau radio, maupun media nirmassa, misalnya surat, telepon, atau poster. 
Jadi komunikator pada komunikasi tatap muka hanya menggunakan satu media saja, misalnya bahasa, sedangkan pada komunikasi bermedia seorang komunikator, misalnya wartawan, penyiar atau reporter menggunakan dua media, yakni media primer dan media sekunder, jelasnya bahasa dan sarana yang ia operasikan. 
APPLIED THEORY           
1.            Teori Kultivasi 
Berdasarkan sejarahnya bahwa, media televisi di tahun 1960an telah diperbincangkan dan menjadi fokus kajian menarik bagi masyarakat Amerika Serikat. Hal ini terlihat dengan banyak studi dan penelitian terhadap media yang satu ini, baik dari sisi isi media, budaya, dan dampaknya bagi masyarakat karena sifatnya yang audio visual dan mampu memberikan efek dramatisasi visual yang sangat kuat bagi pemirsa. Pesona televisi tampaknya sangat menarik khalayak dan peneliti untuk melakukan kajian atas isi tayangannya bagi khalayak, khususnya pengaruh kekerasan yang diakibatkan oleh munculnya tayangan-tayangan bernuansa kekerasan yang ditampilkan.
Ditambahkan lagi munculnya analisis  mengenai dampak kekerasan yang ditimbulkan televisi seperti yang dikemukakan oleh George Gerbner sebagai “mean world syndrome”, dalam teori Cultivation Analysis. Gerbner menguraikan bahwa para pecandu berat (heavy viwers) televisi menganggap bahwa dunia ini cenderung dipercaya sebagai tempat yang buruk dari pada mereka yang tidak termasuk pecandu berat (light viewers). Efek kultivasi melalui tayangan kekerasan memberi penjelasan bahwa televisi mempunyai pengaruh yang kuat pada diri individu. Bahkan dalam hal yang ekstrim pemirsa menganggap bahwa lingkungan sekitar sama persis seperti yang tergambar dalam televisi sebagai realitas nyata. Disisi lain, tayangan kekerasan dalam dunia tontonan menjadi formula yang bisa menarik secara komersil. Film atau televisi sebagai tontonan ia hanyalah realitas media, bahkan sebagai “realitas” buatan yaitu fiksi, yang berbeda dari realitas media berupa informasi faktual.
Asumsi Dari Teori Kultivasi
Televisi merupakan media yang unik. Asumsi pertama menyatakan bahwa televisi merupakan media yang unik. Keunikan tersebut ditandai oleh karakteristik televisi yang bersifat:
1) Pervasive (menyebar dan hampir dimiliki seluruh keluarga);
2) Assesible (dapat diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain), dan
3) Coherent (mempersentasikan pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu).
b.      Semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial. Jadi menurut asumsi ini, dunia nyata (real world) di sekitar penonton dipersamakan dengan dunia rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic world). Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa penonton mempersepsi apapun yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya. 

Namun teori ini tidak menggeneralisasi pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer(penonton berat). Hasil pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Gerbner dan kawan-kawan bahkan kemudian menyatakan bahwa heavy viewer mempersepsi dunia ini sebagai tempat yang lebih kejam dan menakutkan (the mean and scray worlddaripada kenyataan sebenarnya. 

Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai “the mean world syndrome” (sindrom dunia kejam) yang merupakan sebentuk keyakinan bahwa dunia sebuah tempat yang berbahaya, sebuah tempat dimana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, sebuah tempat dimana banyak orang di sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri. Untuk itu orang harus berhati-hati menjaga diri. Pembedaan dan pembandingan antara heavy dan light viewer di sini dipengaruhi pula oleh latar belakang demografis di antara mereka.


FENOMENA :  Teori Kultivasi
-       Misalnya, seorang mahasiswa Amerika di sebuah universitas pernah mengadakan pengamatan tentang para pecandu opera sabun (heavy soap opera). Mereka, lebih memungkinkan melakukan affairs (menyeleweng), bercerai dan menggugurkan kandungan dari pada mereka yang bukan termasuk kecanduan opera sabun (Dominick, 1990).
-       Efek tayangan televisi, seperti yang dilakukan oleh Leonard Eron dan Rowell Huesman mengenai efek jangka panjang dari televisi dengan memfokuskan risetnya pada anak-anak yang tumbuh dari 8-22 tahun. Tontonan yang dinikmati pada 8 tahun akan mendorong kriminal pada usia 30 tahun.
-       Pernyataan dari Journal of Youth and Adolescence, memuat bahwa bentuk kegemaran, tema-tema antagonis, dan sosok keperkasaan para lelaki yang menginspirasikan musik heavy metal, ternyata sangat digandrungi remaja lelaki yang berprestasi rendah dan tidak mampu belajar dengan baik di sekolah.
-       Nancy Signorielli (Littlejohn, 1996) melaporkan studi tentang sindrom dunia kejam. Pada aksi kekerasan di program televisi bagi anak, lebih dari 2000 program termasuk 6000 karakter utama selama prime time dan akhir pekan (weekend) dari tahun 1967-1985, menganalisis dengan hasil yang menarik, 70% prime time dan 94% akhir pekan (weekend) termasuk aksi kekerasan. Analisis ini membuktikanheavy viewers memandang dunia muram dan kejam dibandingkan dengan orang yang jarang menonton televisi. Tidak salah jika kemudian Gerbner dan kawan-kawan melaporkan bahwa heavy viewers melihat dunia lebih kejam dan menakutkan seperti yang ditampilkan televisi dari pada orang-orang yang jarang menonton.
-       Para pecandu berat televisi akan mengatakan sebab utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang ditonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif sosial sebagai alasan melakukan kekerasan). Padahal bisa jadi sebab utama itu lebih karena keterkejutan budaya (cultural shock) dari tradisional ke kehidupan modern. Teori kultivasi berpendapat bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan.
-       Sebagai contoh pencandu berat televisi menyatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi korban kejahatan adalah 1 berbading 10. Dalam kenyataan angkanya adalah 1 berbanding 50. Pecandu berat televisi mengira bahwa 20% dari total penduduk dunia berdiam diri di Amerika. Kenyataannya hanya 6%. Pecandu berat percaya bahwa persentase karyawan dalam posisi manajerial atau professional adalah 25%. Kenyataannya hanya 5% (Devito, 1997, lihat juga Nurudin, 2004, Ardianto dkk, 2004). Bagi pecandu berat televisi, apa yang terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer