Penculikan Melalui Jejaring Sosial (1)


Antisipasi Penculikan Pelajar Melalui Jejaring Sosial (1)
Astri Dwi Andriani S Ikom
Alumni Fikom Universitas Putra Indonesia

pic by: google

Di era modern seperti saat ini, perkembangan teknologi komunikasi semakin pesat. Jaringan sosial pertemanan seperti Facebook kini telah menjadi fasilitas yang mudah dan murah bagi pelajar dalam mencari dan berhubungan dengan teman baru di belahan dunia mana pun.

Pada Januari 2011, Facebook memiliki lebih dari 600 juta pengguna aktif. Namun sejak 2007, Facebook mengalami peningkatan penggunaan di Indonesia.

Hingga sekarang, Indonesia menjadi salah satu negara dengan pengguna Facebok yang besar. Hal tersebut dapat tejadi karena jumlah penduduk Indonesia yang juga salah satu terbesar di dunia dan juga masyarakat Indonesia yang suka berinteraksi satu dengan lainnya.

Tidak hanya memberikan keuntungan dan manfaat yang baik, Facebook kini menjadi momok yang menakutkan untuk sebagian kalangan, terutama orangtua murid, setelah ditemukan kasus penculikan yang berawal dari perkenalan di jejaring sosial berupa Facebook.

Berdasarkan dari Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), sepanjang Januari hingga Oktober 2012, setidaknya terjadi 21 kasus penculikan yang berawal dari perkenalan korban dengan pelaku melalui situs jejaring sosial. Satu orang di antaranya tewas saat ditemukan oleh pihak keluarga. Oleh sebab itu, kasus semacam ini harus ditanggap serius oleh semua pihak.

Sebelumnya, publik terkejut atas kasus yang menimpa ASS (15) di Depok, Jawa Barat. Ia diculik oleh teman kenalannya di Facebook dan sempat mendapatkan pelecehan seksual. Rupanya, ASS menjadi korban penculik sindikat untuk keperluan seks komersial. ASS pun berhasil melarikan diri sebelum satu minggu disekap dan dibawa berpindah tempat agar tidak dapat ditemukan.

Kasus ini dapat kita kupas berdasarkan teori S-R (stimulus dan respon) yang digagas oleh John Dollard dan Neil E. Miller. Teori ini menjelaskan komunikasi sebagai suatu proses “aksi dan reaksi” yang sangat sederhana.

Model ini mengasumsikan bahwa kata – kata verbal  (lisan atau tulisan), isyarat non verbal, gambar atau kata–kata tertentu akan merangsang seseorang untuk memberikan respon dengan cara tertentu.

Ketika kasus penculikan berawal dari sebuah perkenalan di Facebook melalui chathing, sang  pelaku yang mengirimkan stimulus (S) kepada korban nya berupa janji–janji bahwa akan dibelikan sebuah telepon genggam yang bagus.

Informasi ini langsung saja dipercayai oleh korban tanpa berfikir terlebih dahulu apakah janji tersebut benar (R) atau hanya sebuah cara untuk mengelabui korban agar dia percaya bahwa janji yang diberikan benar adanya.

Disini korban tampak tidak berdaya karena informasi yang diberikan diterimanya secara langsung saat dia berinteraksi dengan orang lain di dunia maya. Hal seperti ini berkaitan juga dengan teori jarum hipodermik, di mana pesan atau informasi yang diterima saat berinteraksi dengan orang lain di dunia maya menimbulkan efek yang kuat, langsung dan terarah sehingga komunikan menerima begitu saja pesan–pesan yang diberikan oleh orang yang sedang berinteraksi dengan nya di dunia maya, tanpa ada pertimbangan atau pemikiran terlebih dahulu. Informasi – informasi yang diberikan pelaku akan membuat korban senang dan pecaya kepada pelaku tersbut, kemudian setelah percaya pelaku akan mengajak nya pergi ke suatu tempat.

Saat bertemu, pelaku akan membawa atau menculik korban yang sudah percaya bahwa dia akan diberikan hp tersebut.

Dari kasus di atas, dapat disimpulkan bahwa seharusnya situs jejaring sosial mempunyai peraturan keamanan yang lebih ketat bagi penggunanya. Selain peningkatan keamaanan, para pengguna Facebook terutama yang masih di bawah umur, mendapatkan pengawasan yang ekstra saat sedang mengakses Facebook dari orang dewasa.(bersambung)

Komentar

Postingan Populer