Mazhab - Mazhab dalam Filsafat

#3 MAZHAB – MAZHAB FILSAFAT
Pengertian mazhab menurut kamus bahasa Indonesia berarti:
-       Haluan atau aliran mengenai hukum fikih yang menjadi ikutan umat Islam (dikenal empat mazhab, yaitu mazhab Hanafi, Hambali, Maliki, dan Syafii), kecenderungan umat Islam di Indonesia banyak yang menganut mazhab Syafii.
-       Golongan pemikir yang sepaham dalam teori, ajaran, aliran tertentu di bidang ilmu, cabang kesenian, dan sebagainya dan yang berusaha untuk memajukan hal itu.
Mazhab – mazhab yang muncul setelah abad pertengahan:
RASIONALISME
Mazhab rasionalisme mulai muncul pada abad 17. Rasionalisme berpendapat bahwa sumber pengetahuan yang dapat mencukupi dan yang dapat dipercaya adalah rasio atau akal (Harun Hadiwijono, 1980:18). Hanya pengetahuan yang melalui akal lah yang memenuhi syarat dan dituntut oleh semua pengetahuan ilmiah. Pengalaman hanya dipakai untuk meneguhkan pengetahuan yang telah didapat oleh akal, dan sesungguhnya akal tidak memerlukan pengalaman. Metode yang digunakan adalah metode deduktif, yaitu suatu penalaran yang mengambil kesimpulan dari suatu kebenaran yang bersifat umum untuk diterapkan kepada hal – hal yang bersifat khusus.
Contoh: semua manusia akan mati. Badu adalah manusia, maka Badu akan mati.
Tokoh dari rasionalieme adalah RENE DESCARTES (1596 – 1650) yang disebut sebagai Bapak Filsafat Modern. Pernyataannya yang paling popular adalah cogito ergo sum artinya aku berfikir maka aku ada. Apa saja yang orang pikirkan, walaupun suatu khayalan, tetapi manusia yang berpikir itu bukalah khayalan, maka manusia yang berpikir itu ada. Inilah satu satunya hal yang tidak dapat diragukan keberadaannya. Hal ini yang disebut sebagai pengetahuan langsung yaitu kebenaran filsafat yang pertama (prium philosophicum).
Menurut Descartes, manusia mempunyai kebebasan kehendak. Amnesia dapat merealisasikan kebebasannya dengan mengendalikan hawa nafsunya, karena kebebasan adalah cirri khas kesadaran manusia yang berpikir.
EMPIRISME
Mazhab ini muncul sezaman dengan rasionalisme yaitu abad 17. Mazhab ini merupakan kebalikan dari rasionalisme dan berpendapat bahwa empiri atau pengalamanlah yang menjadi sumber pengetahuan, baik pengalaman lahiriah maupun pengalaman batiniah.
Metode yang dipakai adalah metode induktif, yaitu suatu penalaran yang mengambil kesimpulan dari suatu kebenaran yang bersifat khusus untuk diterapkan kepada hal – hal yang bersifat umum.
Orang pertama yang mengikuti mazhab ini adalah THOMAS HOBBES (1588 – 1679). Bagi Thomas filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan yang bersifat umum, sebab filsafat adalah suatu ilmu pengetahuan tentang efek – efek atau akibat – akibat, atau tentang penampakan – penampakan seperti yang kita peroleh dengan merasionalisasikan pengetahuan yang semula kita miliki dari sebab – sebabnya atau asalnya. Sasaran filsafat adalah fakta – fakta yang diamati, dengan maksud untuk mencari sebab – sebabnya. Sedangkan alat yang dipakai adalah pengerian – pengeritan yang diungkapkan dalam kata – kata yang menggambarkan fakta – fakta tersebut (Harun Hadiwijono, 1980:32). Pengalaman adalah awal dari semua pengetahuan. Hanya pengalamanlah yang member jaminan akan kepastian.
Sedangkan KOHN LOCKE (1632 – 1740) adalah penerus tradisi empiris. Pada masa Locke ini untuk pertama kalinya metode empiris diterangkan kepada persolan – persoalan tentang pengenalan atau pengetahuan. Locke menentang teori rasionalisme mengenai ide – ide dan asas – asas pertama sebagai bawaan manusia. Menurut Locke pengetahuan didapatkan dari pengalaman, dan akal adalah pasif pada saat pengetahuan didapatkan. Rasio manusia mula – mula harus dianggap sebagai kertas putih yang kosong as a white paper, kertas kosong tersebut baru terisi melalui pengalaman.
Ada dua macam pengalaman, yaitu pengalaman lahiriah dan pengalaman batiniah. Kedua macam pengalaman ini saling berhubungan. Pengalaman lahiriah menghasilkan gejala – gejala psikis yang harus ditanggapi oleh pengalaman batiniah. Dengan demikian mengenal adalah identik dengan mengenal secara sadar.
Berdasarkan asas – asas teori pengenalan tersebut maka dalam etikanya Locke menolak adanya pengertian kesusilaan yang telah menjadi bawaan tabiat manusia. Sedangkan yang manjadi tabiat bawaan manusia hanyalah kecenderungan – kecenderungan yang menguasai perbuatan manusia. Semua kecenderungan dapat dikembalikan kepada usaha untuk mendapatkan kebahagiaan. Tentang bagiamana kita harus berbuat diajarkan oleh pengalaman.
IDEALISME
Kata idealism pertama kali digunakan secara filosofis oleh Leibniz pada awal abad 18. Istilah idealism digunakan dnegan maksud untuk menerapkan pemikiran Plato. Idealism berpendapat bahwa seluruh realitas itu bersifat spiritual/psikis, dan materi yang bersifat fisik sebenarnya tidak ada.
LEIBNIS (1646 – 1716) berusaha menjembatani pertentangan antara rasionalisme dan empirisme, walaupun tidak memberikan suatu sistem untuk memadukannya. Leibniz mendasarkan filsafatnya atas pengertian substansi, yaitu sesuatu yang tanpanya sesuatu yang lain tidak akan ada. Substansi berasal dari bahasa latin substansia yang berarti bahan, hakikat atau zat.
Menurut Leibniz, ada banayak sekali substansi, begitu banyaknya sehingga tidak terhitung jumlahnya. Tiap substansi disebut monade, yang bersifat tunggal dan tidak dapat dibagi – bagi. Monade tidak dapat dihasilkan secara alamiah dan tidak data dibinakan. Adanya semata – mata karena penciptaan dan berlangsung selama Allah mempernankannya (Harun Hadiwijono, 1980: 40).
Idealisme di Jerman memuncak pada masa GEORGE WILHELM FRIDERCH HEGEL (1770 – 1831) (Bertens, 1979:68). Yang mutlak adalah roh yang mengungkapkan diri di dalam alam, dengan maksud agar dapat sara akan dirinya sendiri. Hakikat roh adalah ide atau pikiran. Pernyataan Hegel yang terkenal adalah semuanya yang real bersifat rasional dan semuanya yang rasional bersifat real. Maksudnya adalah bahwa luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran (atau ide menurut istilah yang dipakai Hegel) yang memikirkan dirinya sendiri.
Filsafat Hegel menggunakan metode dialektik, yaitu suatu metode yang mengasahakan kompromi natara beberapa pendapat atau keadaan yang beralawanan satu sama lain. Proses dialektik terdiri atas tiga fase, fase pertama disebut tesa, yang dilawan dengan fase kedua yang disebut antitesa. Kemudian ada fase ketiga yang disebut sintesa yang memperdamaikan fase pertama dan fase kedua. Dalam sintesa tersebut tesa dan antitesa menjadi aufgehoben berarti dicabut, ditiadakan, tidak berlaku lagi. Istilah tersebut dimaksudkan akarena adanya sintesa maka tesa dan antitesa sudah tidak ada lagi, sudah lewat. Arti yang lain adalah diangkat, tesa maupun antitesa mendapat eksistensi baru. Kebenaran yang ada dalam tesa dan antitesa tetap disimpan dalam sintesa, tetapi dalam bentuk yang lebih sempurna. Proses dialektik akan berlangsung terus – menerus, dan sintesa yang dihasilkan akan menjadi tesa baru dan seterusnya.
Contoh:
-       Tesa : Bentuk Negara dictator; hidup kemasyarakatan diatur dnegan baik tetapi warga Negara tidak mempunyai kebebasan apapun.
-       Antitesa : bentuk Negara anarki: para warga Negara mempunyai kebebasan tanpa batas, tetapi hidup kemasyarakatan menjadi kacau.
-       Sintesa : bentuk Negara demokrasi konstitusional: kebebasan para warga Negara dijamin dan dibatasi oleh undang – undangan dasar dan hidup kemasyarakatan berjalan dengan memuaskan.
POSITIVISME
Mazhab ini berkembang pada abad ke 19. Positivism berpendirian bahwa pemikiran filsafat berpangkal dari apa yang telah diketahui, yang factual, yang positif, sehingga sesuatu yang sifatnya metafisik ditolak. Pengetahuan kita tidak boleh melewati fakta – fakta, dengan demikian ilmu pengetahuan empiris diangkat menjadi contoh istimewa dalam bidang pengetahuan. Namun ada perbedaan dengan empirismen, yaitu positivism hanya membatasi pada pengalaman – pengalaman objektif, yang tampak, tetapi empirismen menerima pengalaman – pengalaman batiniah atau pengalaman subjektif.
Tokoh positivism adalah AUGUST COMTE (1798 – 1857). Menurut Comte, perkembangan pemikiran manusia, baik manusia sebagai pribadi maupun manusia secara keseluruhan meliputi tiga zaman (Bertens, 1979:73), yaitu:
-       Zaman teologis; pada zaman ini manusia percaya bahwa di belakang gejala – gejala alam terdapat kuasa – kuasa adikodrati yang mengatur fungsi dan gerak gejala – gejala tersebut.
-       Zaman metafisis, kuasa – kuasa adikodrati diganti dnegan konsep – konsep dan prinsip – prinsip yang abstrak, seperti kodrat dan penyebab.
-       Zaman positif, pada zaman ini manusia tidak mencari penyebab – penyebab yang terdapat di belakang fakta – fakta. Dengan menggunakan rasionya manusia berusaha menetapkan relasi – relasi persamaan atau urutan yang terdapat antara fakta – fakta. Pada zaman inimulai dihasilkan ilmu pengetahuan dalam arti yang sebenarnya.
PRAGMATISME
Mazhab yang muncul pada awal abad 20 ini mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dnegan membawa akibat yang bermanfaat secara praktis. Pedoman pragmatism adalah logikan pengamatan. Pragmatism bersedia menerima segala sesuatu, asal saja membawa akibat yang praktis. Pengalaman – pengalaman pribadi diterima asalkan bermanfaat, bahkan kebenaran mistis dipandang sebagai kebenaran yang diterima asalkan membawa akibat praktis yang bermanfaat (Harun Hadiwijono, 1980:130).
Salah satu tokoh pragmatism adalah JOHN DEWEY (1859 – 1952). Menurut Dewey tugas filsafat adalah memberikan garis – garis pengarahan bagi perbuatan dalam kenyataan hidup. Pleh karena itu filsafat tidak boleh tenggelam dalam pemikiran – pemikiran metafisis yang tiada faedahnya. Filsafat harus berpijak pada pengalaman (experience) dan menyelidiki serta mengolah pengalaman itu secara aktif krisis.
FENOMENOLOGI
Fenomenologi adalah suatu aliran yang membicarakan fenomena, atau segala sesuatu yang menampkkan diri. Fenomena bukablah hal yang nyata, tetapi hal yang semu. Suatu fenomena tidak perlu harus diamati dengan indera, sebab fenomena juga dapat dilihat atau ditilik secara rohani, tanpa melewati indera.
Pelopor filsafat fenomenologi adalah EDMUND HUSSERL (1859 – 1938). Menurut Husserl, hukum – hukum logika yang member kepastian, yang berlaku, tidak mungkin bersifat a poterotori, sebagai hasil pengalaman, tetapi bersifat a priori.
EKSISTENSIALISME
Eksistensi dalam filsafat eksistensialisme berarti cara manusia berada di dalam dunia. Cara berada manusia berbeda dengan beradanya benda – benda. Benda – benda berada dengan tidak sadar tanpa hubungan. Sedangkan manusia berada di dunia justru berhubungan dengan sesame manusia dan berhubungan dengan benda – benda. Benda – benda berarti karena beradanya manusia. Untuk membedakan dua cara berada dalam eksistensialisme adalah dengan dua kata yang berbeda, untuk benda berada, sedang mansusia bereksistensi.
Eksistensialieme menjadi tersebar luas karena pemikiran JEAN PAULSARTRE (1905 – 1980). Dalam bukunya yang terkenal L etre et leneant atau Keberadaan dan Ketiadaan (1943), Sartre membagi ada atau berada (L etre) menjadi dua macam, yaitu:
-       L etre – en – soi (berada – dalam – diri)
-       L etre – pour – soi (ber – ada – untuk – diri)
(Harun Hadiwijono, 1980:157)
Yang dimaksud dengan berada – dalam – diri adalah berada dalam dirinya, berada itu sendiri. Filsafat berpangkal dari realitas yang ada, sebab realitas yang ada itulah yang kita hadapi, kita tangkap dan kita mengerti.
Sedangkan yang dimaksud dengan berada – untuk – diri adalah berada yang dengan sadar akan dirinya, yaitu cara berada manusia. Manusia mempunyai hubungan dengan keberadaannya, ia bertanggungjawab atas fakta bahwa ia ada. Kesadaran manusia bukanlah kesadaran akan dirinya, melainkan kesadaran diri.


Komentar

  1. Terimakasih atas ilmunya.. Bener2 membantu dan mencerahkan, semoga berkah. Amien

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan Populer