DINAMIKA JURNALISTIK : Alat Ukur Wartawan Bukan Kartu Pers

Dinamika Jurnalistik : Alat Ukur Wartawan Bukan Kartu Pers
Oleh : Astri D Andriani 



Di negara berkembang seperti Indonesia, aktivitas jurnalistik sangat diperhitungkan, karena tidak saja berfungsi sebagai sumber pemberitaan publik, jurnalistik disebut – sebut sebagai pilar keempat demokrasi, setelah badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. 
Di mana jurnalis dianggap sebagai ‘mata’ rakyat yang aktif mengawasi kinerja pemerintahan Indonesia. Sementara itu, berdasarkan Pasal 6 UU Pokok Pers No. 40/1999, pers harus bersikap ‘galak dan tegas’ dalam menjalankan fungsinya sebagai komunikator informasi publik, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supresmasi hukum dan hak asasi manusia. Lebih dari itu, pers juga dituntut untuk dapat melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Memilih profesi sebagai wartawan (jurnalis) berarti siap menerima beragam resiko yang melekat pada pekerjaan khusus tersebut, termasuk stigma negatif masyarakat yang memandang sinis pada profesi ini. 
Dalam menjalankan amanah tersebut bukan tanpa hambatan, saat di lapangan, di beberapa situasi wartawan dihadapkan pada godaan berupa tawaran pemberian sejumlah hadiah (salah satunya dalam bentuk uang) agar ‘tutup mulut’ menyebarkan informasi negatif oknum tertentu melalui media massa. 
Di lapangan sendiri tidak sedikit wartawan yang menggadaikan ideliasmenya demi memanfaatkan hal tersebut, karena tergiur oleh tawaran materi yang diberikan. Wartawan tersebut, menurut Zaenudin HM dalam bukunya yang berjudul The Journalist termasuk ‘wartawan amplop’. 
Wartawan amplop adalah julukan negatif bagi wartawan yang melanggar Kode Etik Jurnalistik, yakni yang menerima uang dari sumber berita, baik karena diberi maupun meminta dari para sumber berita. 
Lebih jelasnya, para wartawan yang menerima pemberian berupa hadiah atau uang, baik karena diberi atau pun meminta, yang berakibat tidak bebasnya menjalankan profesinya secara jujur dan objektif, dengan menuliskan pemberitaan yang lebih bersifat iklan terselubung, atau setidaknya menguntungkan si pemberi imbalan. Narasumber yang diberi uang berharap yang akan diberitakan adalah sisi baiknya saja (Zaenudin, 2011:62-63). 
  Lebih dari itu, lanjut Zaenudin bercerita dalam bukunya, banyak wartawan palsu yang tak bertanggungjawab – yang hanya karena sering bergaul dengan wartawan – mengaku – ngaku sebagai wartawan, padahal oknum tersebut tidak bekerja pada media massa. Mereka hanya berpura-pura sebagai wartawan untuk mencari uang yang biasa dikeluarkan pihak pengundang atau sumber berita (Zaenudin, 2011: 65).
Untuk wartawan palsu jenis ini banyak sekali julukan yang melekat pada diri mereka, diantaranya WTS alias Wartawan Tanpa Surat kabar. Julukan tersebut merupakan pelesetan dari sebutan WTS yang telah dikenal umum sebelumnya yakni Wanita Trans Seksual atau lazim disebut banci.
     Selain itu, ada juga yang menjuluki oknum wartawan sebagai ‘Muntaber’ alias muncul tanpa berita. Karena mereka memang tidak memiliki media massa untuk mempublikasikan beritanya. 
Lebih jahat, di Kabupaten Cianjur sering terdengar kabar, para wartawan palsu ini aktif memasuki dinas-dinas maupun lembaga pemerintahan lainnya untuk mengorek sebuah kasus negatif lembaga tersebut dan memeras oknum yang ada di dalamnya.
 Tidak hanya memeras pada oknum yang melakukan tindakan negatif, wartawan palsu ini juga sering datang ke berbagai instansi untuk meminta uang tanpa alasan yang jelas. Tentu saja, hal ini mencoreng nama baik profesi wartawan. 
Hal itu juga didukung dengan kebiasaan sejumlah oknum narasumber yang sering memberikan ‘amplop’ pada siapa pun wartawannya. Seolah pemberian ‘amplop’ tersebut telah menjadi tradisi dan rahasia umum.
Hal ini tentunya menyalahi Pasal 6 Kode Etik Jurnalistik yang berbunyi : Wartawan Indonesia dilarang menyalahgunakan profesi dan menerima suap. Dalam pasal tersebut, ditafsirkan bahwa yang dimaksud ‘menyalah – gunakan profesi’ adalah segala tindakan yang mengambil keuntungan pribadi atas informasi yang diperoleh saat bertugas sebelum informasi tersebut menjadi pengetahuan umum. Yang kedua, yang dimaksud ‘suap’ adalah segala pemberian dalam bentuk uang, benda atau fasilitas dari pihak lain yang mempengaruhi independensi. 
Untuk mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, tidak sedikit media yang mencantumkan informasi bahwa di perusahaan mereka, reporter yang ditugaskan tidak berhak menerima hadiah dalam bentuk apa pun dan dilengkapi dengan kartu pers. 
Kartu pers saja tentunya tidak cukup untuk memaknai posisi seorang jurnalis. Lebih dari itu, semangat menyebarluaskan beragam informasi pada khalayak, dan berusaha konsisten menyampaikan kebenaran dengan berita yang berimbang menjadi ruh utama yang menjadi modal dasar aktivitas penyebarluasan berita melalui media (jurnalistik).
Meski begitu, jangan putus asa, saat ini masih banyak juga wartawan yang teguh berpegang pada idealisme dan kode etik jurnalistik serta memperjuangkan kepentingan publik dan mematuhi UU Pokok Pers. 
Adapun beberapa tips dalam menghadapi oknum wartawan, antara lain sebagai berikut, yang pertama adalah menguasai situasi dan kondisi. Terutama penguasaan diri sendiri menghadapi situasi kritis. Contoh kasus, kita didatangi segerombol wartawan palsu, usahakan posisi kita menghadapi mereka dalam ruang publik, di mana banyak orang lalu lalang dan kita terlihat orang lain.
Tahap kedua yang harus dilakukan adalah tetap bersikap sopan. Wartawan tanpa surat kabar juga manusia, yang perlu kita hargai dan jaga martabatnya. Jika kita bersikap sopan, mereka juga akan segan dan tidak akan bersikap macam-macam.
Cara selanjutnya adalah tidak hanyut dalam perangkap. Publikasi kegiatan tentang lembaga, badan atau organisasi kita memang penting untuk diketahui publik. Namun, bila menghadapi ‘ancaman’ boikot atau tidak mempublikasikan acara tetaplah berpegang pada kebijakan yang telah digariskan pada awalnya.
Selanjutnya adalah bersikap tegas. Katakan saja tidak (just say no) untuk setiap pertanyaan, permohonan yang ujung-ujungnya ‘amplop’. Kalau kita bersikap tegas untuk urusan yang satu ini, rasanya mereka akan tahu diri dan tidak ‘ngotot’.
Yang terakhir adalah tidak menghindar. Mencuri-curi kesempatan untuk menghindar dari wartawan tanpa surat kabar tidak akan menyelesaikan persoalan. Kita tetap akan dikejar ke manapun berusaha untuk menghindar. Hadapi saja mereka dengan kiat poin 1 hingga 4 di atas. Toh akhirnya mereka juga akan mundur secara teratur. Semoga bermanfaat.(penulis adalah jurnalis & mahasiswa Pascasarjana Universitas Islam Bandung)

Komentar

Postingan Populer