PERSPEKTIF DALAM BINGKAI ILMU KOMUNIKASI


HAKIKAT PERSPEKTIF
Perspektif pada hakikatnya adalah sudut pandang. Jika suatu perspektif atau pandangan adalah ‘realistis’, maka sebagian dari suatu fenomena yang sedang dilihat itu hilang dan yang lainnya adalah distorsi. Dengan kata lain setiap perspektif, pada taraf tertentu, kurang lengkap serta didistorsi, meskipun ia merupakan suatu yang amat ‘nyata’.
Nilai perspektif kita tidak terletak dalam nilai kebenarannya atau seberapa baik ia cerminkan realitas yang ada. Secara umum dapat dilatalam bahwa semua perspektif yang dapat diperoleh adalah benar dan mencerminkan realitas. Sejalan dengan itu, sebenarnya penulusuran kita adalah mencari perspektif yang dapat memberikan kepada kita konseptualisasi realitas yang paling bermanfaat bagi pencapai tujuan kita. 

SIFAT – SIFAT PERPEKTIF
1.    Penentuan Relevansi
Perpektif yang dipakai orang untuk meninjau fenomena apapun tidak sedikit menentukan aspek apa dari fenomena itu yang dipandang penting atau relevan, dan sebaliknya, aspek mana yang kiranya kurang penting dan relevan.
2.    Ketertarikan pada Waktu dan Budaya
3.    Kemampuan untuk Saling Dipertukarkan
4.    Model dan Analogi
KARAKTERISTIK KOMUNIKASI
Serba ada, serba luas, dan serba makna, adalah ketiga kata sifat yang menjadi cirri khas (karakteristik) yang seringkali dipakai untuk menggambarkan fenimena komunikasi manusia, dan ketiga kata sifat itu memang sesuai sekali. Bahkan dalam pemakaiannya setiap hari kita sering menggunakan istilah komunikasi dalam berbagai cara.



PERSPEKTIF MEKANISTIS
Perspektif mekanistis komunikasi manusia menekankan pada unsure fisik komunikasi, penyampaian dan penerimaan arus pesan seperti ban berjalan di antara sumber / para penerimanya.semua fungsi penting dari komunikasi terjadi pada saluran, lokus, perspektif mekanistis. Mekanisme merupakan perspektif yang paling sering dianut oleh para ahlo yang minat utamanya bukan pada komunikasi manusia, misalnya, para ahli psikologi sosial, para ahli antropologi, para spesialis dalam manajemen perusahaan, dan sejenisnya. Namun begitu, jejak perspektif mekanistis merasuki sejumlah besar penelitian komunikasi.
Walaupun sebagian terbesar para komunikologis akan menolak menyebut diri mereka  sebagai ‘penganut mekanistis’, namun begitu, banyak diantara mereka yang masih mempergunakan berbagai unsure konseptual atau teoritis mekanisme dalam mengarahkan jalan pikiran dan usaha – usaha penelitian mereka.
Sekalipun ada kesalahan yang dituduhkan, bersifat antihumanis, perspektif mekanistis merupakan perspektif yang telah tersebar luas, mudah dipakai, dan bernilai untuk meninjau hubungan di antara variable komunikasi manusia. Ia masih tetap hanya sebuah perspektif, di antara berbagai yang ada, sebagai suatu kerangka untuk mengorganisasi secara konseptual dan memahami proses komunikasi manusia.
Sebagai peneliti komunikasi manusia, kita perlu memahami mekanisme sebagai suatu perspektid unntuk memahami komunikasi manusia. Ia bukan satu – satunya perspektif, ia pun tidak salah. Selama orang mempergunakan mekanisme untuk memahami fenomena komunikasi, kita perlu memahaminya.




MODEL MEKANISTIS
Erving Goffman (1969:IX), ahli sosiologi memandang komunikasi sebagai ‘saluran yang terorganisasikan secara sosial untuk menyampaikan informasi’ dan melanjutkan lebih jauh dengan mengatakan bahwa komunikasi hanya ‘secara nyata dan dititikberatkan pemakaiannya’ pada mekanistis saja.
Dengan perkataan lain lagi, perspektif komunikasi yang dianut oleh sebagai besar orang, termasuk orang awam maupun para ahli, berisi dosis mekanisme yang kuat. Ia mudah dipergunakan bagi pembentangan secara visual dalam bentuk model yang cukup terdiri dari kertas dan pensil saja, yang jelas berkat penekanannya yang ada padanya atas sifat spasialnya.

Model Mekanistis Komunikasi Manusia


Proses saling tukar – menukar pesan itu dilukiskan dalam Gambar 1 sebagai suatu saluran anti kontinu. Pada kenyataannya, orang dapat memvisualisasikan saluran alur – kontinu. Pada kenyataannya, orang dapat memvisualisasikan saluran itu sebagai semacam ‘ban berjalan’ (corveroy belt) yang selalu dan secara simultan berjalan antara kedua sumber / penerima, yang berperan sebagai ‘tenaga penggerak’ dalam analogi ban berjalan. Dan pesan mengalir terus melalui saluran ban berjalan dalam suatu alur yang divisualisasikan pada tiap titik pada saluran itu daripada hanya kedua titik sebagai terpapar dalam Gambar 1.
Jika kita memakai analogi ban berjalan, titik asal di mana proses penyampaian – penerimaan mulai menjadi kurang penting dan kurang dapat dibedakan saat prose situ terus berjalan. Karena itulah, membedakan satu komunikatif sebagai sumbernya dan yang lain sebagai si penerimanya menjadi tidak hanya tidak mungkin akan tetapi juga tidak berarti. Namun demikian, penyampaian dan penerimaan pesan tetap merupakan suatu yang penting dan sentral dari model mekanistis itu.

Model Jaga Gerbang (Gate Keeping)
Istilah penjaga gerbang ini tampaknya berasal dari penjabaran teori medan Kurt Lewin (1951) dalam ilmu sosisl dan mengemukakan fungsinya sebagaimana yang tertar pada istilah itu sendiri. Fungsi penjaga gerbang itu terdapat pada saluran atara sumber dan penerima dan berperan sebagai perantara keduanya.
Gambar 2 memperlihatkan fungsi penjaga gerbang tersebut dalam komunikasi manusia dalam usaha model arus pesan sederhana yang terdiri dari tiga unsur. Biasanya rantai ini dapat diperluas menjadi empat, lima, atau lebih komunikator, masing – masing dari mereka akan berfungsi sebagai penjaga gerbang kecuali bagi sumber/penerima yang pertama dan terakhir dalam rangaian tersebut.
Penjaga gerbang berfungsi menerima informasi dari suatu sumber dan merelai informasi tersebut kepada seorang penerima. Fungsi jaga gerbang ini dapat pula bekerja dalam dua arah. Konsep penjaga gerbang ini mungkin kita kenal dalam pengertian sebagai ‘rangkaian’ informasi atau desas – desus (rumors) yang disebarkan ke seluruh sistem sosial yang bersangkutan.

PERSPEKTIF PSIKOLOGIS
Perspektif psikologis tentang komunikasi memfokuskan perhatiannya pada individu – si komunikator / penafsir – baik secara teoritis maupun empiris. Secara lebih spesifik lagi, yang menjadi fokus utama dari komunikasi adalah mekanisme internal penerimaan dan pengolahan informasi. Fokus ini telah menimbulkan orientasi komunikasi manusia yang terpusat pada si penerima. Walaupun bidang psikologis sebenarnya yang dipinja, perspektif ini masih tidak jelas, unsure – unsure perantara dari behaviorisme S-O-R dan psikologi kognitif, khususnya teori keseimbangan, cenderung untuk mendominasi usaha penelitian para ilmuan komunikasi yang mempergunakan perpektif psikologis.
Perspektif psikologis tidaklah merupakan perspektif yang menyatu secara manunggal dalam pengkajian komunikasi. Sebaliknya, dalam kerangka perspektif ini terdapat pendekatan metodelogis, konsep yang dipakai, serta definisi operasinal yang digunakan, yang amat beranekaragam. Sampai pada tingkat tertentu, ketidaksamaan ini mencerminkan sebagian besar kekalutan yang terdapat di dalam disiplin psikologi. Sudah tentu, penekanan pada filter konseptual yang berupa black box  itu (seperti misalnya sikap, persepsi, keyakinan dan keinginan) telah mempercepat timbulnya arah yang berlainan ini.
Hendaknya juga telah menjadi jelas bahwa banyak dari penteorian, pembuatan model, dan penelitian dalam kommunikasi tidak menerapkan perpektif psikologis dalam bentuknya yang murni, pada kenyataannya, bagian terbesar dari penelitian tentang dan sekitar komunikasi barangkali merupakan pencampuran unsure mekanistis dan psikologis, mungkin dengan penekanan yang lebih besar pada aspek psikologisnya.
Seandainya kita menghitung suara semua anggota Speech Communication Association and International Communication Assiciation, misalnya, kita barangkali akan mengidentifikasikan diri mereka sebagai penganut sejenis perspektif psikologis. Menurut Khun, paradigm yang paling popular di dalam suatu bidang ilmu adalah paradigm sebenarnya dari ilmu tersebut, yang paling terkenal dan digemari secara khas. Dengan sendirinya, setiap peneliti komunikasi yang seruis harus betul – betul mengenal dan mengetahui perspektif psikologis.

Teori Peramalan Respon
Tujuan penjelasan S-R berpusat pada peramalan, dan peramalan berpusat pada respons. Sebenarnya respon dianggap sebagai perulaku yang dapat secara langsung diamatai, dan penjelasan psikolologi berusaha menghubungkan, yakni menjelaskan perilaku dalam artian stimuli dan keadaan internal. Memang jelas bahwa respons tidak dapat diramalkan semata – mata dalam arti sifat fisik stimulus. Respons lebih dapat diuntungkan dengan keadaan internal yang diaktifkan oleh psikologis.
Untuk dapat memahami penjelasan yang didasarkan secara psikologis ada satu factor respons perilaku yang perlu diketahui. Sejarah kondisi stimulus sebelumnya yang telah dihadapi oleh organism penting diketahui untuk meramalkan perilaku, bilai situasi stimulus tertentu diketahui. Dengan perkataan lain, keadaan internal organism berisi anasir stimulasi yang terdahulu, yang mempengaruhi repsons dalam situasi berkutnya yang dinilainya sama. Jika stimulasi smuala mempengaruhi respons kepada kondisi stimulus tertentu, maka setidak – tidaknya beberapa unsure dari keadaan antara internal itu sendiri merupakan produk atau respons pada pengalaman stimulus terdahulu.

Model Psikologi Komunikasi Manusia


Orientasi S-R cukup menonjol dalam perspektif psikologis tentang komunikasi manusia. Pertama, perspektif ini menganggap bahwa manusia baerada dalam suatu medan stimulus, yang secara bebas disebut sebagai suatu lingkungan informasi. Di sekililing setiap orang terdapat arus stimuli yang hamper tidak terbatas jumlahnya (Gambar 3), semuanya dapat diproses melalui organ – organ indra penerima, yakni penglihatan, pendenngaran, perabaan, perabaan, penciuman, dan rasa. Dalam pengertian, semua stimulus ini bersaing unntuk diterima karena banyaknya sehingga jumlahnya melebihi kaoasitas manusia untuk menerima mengolahnya.
Sudah tentu, manusia yang sedang berkomunikasi tidak hanya menerima stimuli akan tetapi iapun menghasilkan stimuli. Sama sebagaimana halnya dengan konsep sumber/penerima dalam model mekanistis, dalam model psikologis manusia ditandai sebagai mahhluk yang memiliki seorang komunikator/penafsir stimuli informasional.

PERPEKTIF INTERAKSIONAL
Walaupun asal mula perspektif interaksional komunikasi manusia dapat ditelusuri sampai ke filsafat eksistensialisme dan bahkan ke Socrates, sumbernya yang khusus dan komprehensif dari perspektif ini secara langsung ataupun tidak langsung adalah interaksionalisme simbolis dalam sosiologi. Mead dan Blumer telah bertindak sebagai sumber – sumber utama bagi filsafat dasarnya, yang melandasi model interaksional komunikasi manusia. Secara khusus lagi, arah perkembangan dalam masyarakat ilmiah komunikasi manusia yang memperlakukan komunikasi sebagai dialog adalah adanya indikasi yang terang sekali daru oendekatan interaksional pada studio komunikasi manusia.
Popularitas  interkasionalisme berasal sebagian dari reaksi humanistis tergadao mekanisme dan psikologisme. Akan tetapi, yang lebih penting lagi, adalah pemberian penekanan yang manusiawi pada diri sebagai unsure pokok perpektif interaksional. Tetapi daripada memandang diri hanya sebagai internalisasi pengalaman indivisual, interaksional lebih menerangkan perkembangan diri melalui proses ‘penunjukan diri’ di mana individu dapat ‘bergerak ke luar’ dari diri dan melibatkan dirinya dalam introspeksi dari sudut pandangan orang lain.
Dengan cara yang sama, individu dapat melibatkan dirinya dalam pengambilan peran dan mendefinisikan diri maupun orang lain dari sudut pandang orang lain. Fenomena pengambilan peran inilah yang memungkinkan adanya pengembangan diri semata – mata sebagai proses sosial – dalam proses introspeksi ataupun ekstrospeksi. Oleh karena, hanya melalui interaksi sosial, diri atau hubungan dapat dikembangkan. Dan pengambilan peran tidak hanya merupakan unsure sentral dari perspektif interaksional, akan tetapi juga merupakan unsur yang unik.
Perpektif interaksional menekankan tindakan yang bersifat simbolis dalam suatu perkembangan yang bersifat proses dari komunikasi manusia. Penekanannya pada tindakan memungkinkan pengambilan peran untuk mengembangkan tindakan bersama atau mempersatukan tindakan individu dengan tindakan individu – individu yang lain untuk membentuk kolektivitas. Tindakan bersama dari kolektivitas itu mencerminkan tidak hanya pengelompokan sosial akan tetapi juga adanya oersaan kebersamaan ataupun keadaan timbale balik dari individu – individu yang bersangkutan, yang dilukiskan dalam model sebagai ‘kesearahan’ orientasi individu – individu terhadap diri orang lain, dan objek.
Barangkali implikasi yang paling penting dari perspektif interaksional bagi studio komunikasi manusia adalah adanya penyempurnaan pemberian penekanan pada metodologi penelitian. Implikasinya yang pertama mencakup pemahaman yang disempurnakan tentang peran yang akan dijalankan oleh peneliti. Daripada hanya digambarkan sebagai seorang pengamat yang sifatnya berat sebelah, tidak bias, dan tidak tertarik atau fenomena empiris, peneliti interaksional menjalankan peranannya sebagai seorang pengamat – partisipan dalam pelaksanaan penelitiannyta. Ia melibatkan dirinya dalam pengambilan peran agar dapat menemukan sudut pandangan para subjek penelitian. Dari sudut pandang mereka, peneliti mengoperasionalkan konsep dan menjalankan observasi empirisnya, akan tetapi, validasi konsep penelitiannya bergeser dari criteria eksternal ke sudut pandangan para subjek penelitian itu sendiri.
Perpektif interaksional dengan jelas merupakan sumber yang menarik oergatuab irabf dakan oebfertuab vagwa ua verada dalam tahap perkembangan yang kontinu. Dalam artian sebagai ‘revolusi yang masih belum tuntas’ setiap penemuan penelitian secara relative bersifat baru dan mengarah ke banyak arah yang baru. Penelitian yang kontemporer mencerminkan jiwa penelitian yang sesungguhnya dalam artian bahwa para peneliti tidak terlalu banyak melibatkan diri dalam pengukuhan atau verifikasi hipotesis, akan tetapi lebih banyak berusaha menemukan bagaimana hipotesis itu seharusnya. Penelitian interaksional masih harus banyak memberikan jawaban pada masalah ataupun masih harus menghasilkan banyak jawaban. Ia telah menimbulkan banyak masalah baru yang sebelumnya masih belum diketahui sebagai masalah bagi penelitian.
Pada sisi lain, penelitian interaksional kurang memiliki arah atau fokus dalam upaya – upayanya. Para peneliti harus masih harus mengembangakan metodologi baru yang diperlukan bagi panduan interaksional / dialogis dan, sebagai gantinya, bukan mencoba dengan paksa mencocokan masalah penelitian interaksional ke dalam metodologi tradional – khususnya yang bersikap psikologis. Oleh karenanya, para peneliti yang didorong faham interaksionalisme juga belum mengembangkan fokus bersama tentang variable apa yang paling penting, konsep apa yang perlu dikembangkan atau dikaji, dan kea rah mana usaha mereka itu selauaknya diarahkan. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa penelitian yang terprogramkan, yang menghasilkan kumulasi hasil penelitian tidak menandai penelitian komunikasi dalam paradigm interaksional.
Sebagai akibatnya, sebagian anggota masyarakat ilmiah cenderung memandang rendah perspektif interaksional. Sudah tentu itu hak mereka dan bahkan kewajiban mereka untuk memandang pengkajian disiplin ilmu dengan kewaspadaan yang kritis. Namun, sayangnya, banyak dari kritik itu didasarkan pada criteria – criteria yang salah --- metodelogi – metodelogi yang lain atau yang belum dikenal, yang tidak mereflesikan pendekatan yang lebih tradisional dalam melakukan penelitian. Argumen – argumen seperti sinonim – yakni, mengkritik satu paradigma dari sudut pandangan yang lain benar – benar menyesarkan dan tidak sesuai dengan jiwa penelitian ilmiah. Tidak akan membanyak kemanapun.
Secara relative persepktif interaksional masih baru bagi disiplin komunikasi manusia. Nilai sesungguhnya yang diperlihatkan masih harus direalisasikan. Potensi bagi wawasan baru dalam proses komunikasi manusia luar biasa. Dalam satu hal, tinjuan interaksional – dialogis tentang komunikasi manusia sedang dalam masa ‘bulan madu’. Ia hanya dapat diwvaluasi atas dasar potensinya. Kita harus memgambil sikap menunggu dan melihat. Pada waktu ini, pendekatan bersikap revolusioner dan berbeda sekali. Apa yang akan terjadi dalam 20 tahun yang akan datang akan memperlihatkan nilai perspekstif itu kepada masyarakat ilmiah – secara langsung dapat dilihat kualitasnya dari penemuan penelitiannya. Dalam situasi apapun, apapun yang terjadi – apakah makin meningkat kepopulerannya dan makin penting penelitiannya, atau hilangnya interaksional memberikan pandangan humanistis yang segar pada komunikasi manusia.

Model Interaksional Komunikasi Manusia


Untuk melukiskan model inteaksional tentang komunikasi manusia dalam gambar berdimensi dua bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun gambar 4 dianggap dapat mencerminkan model interaksional, dalam banyak hal ia dapat memberikan gambaran yang salah. Pertama – tama, model itu mengemukakan adanya pemisahanan diri, orang lain, dan objek, yang realitasnya, orientasi terhadap ketiganya bersifat simultan dan tidak terpisahkan – lebih merupakan orientasi gestalt, masing – masing mempengaruhi oleh yang lainnya.
Model inipun sebagai yang tergambarkan, menggambarkan kemangunggalan yang unidimensional dari diri, oranglain, objek, dan konteks cultural, yang jelas tidak mencerminkan realitas. Model ini juga tidak memungkinkan secara jelas menggambarkan tindakan, yang merupakan sine qua non dari perspektif interaksional.
Dengan kata lain, gambar 4 dapat merupakan gambar model interaksional, akan tetapi gambar lazimnya tergantung pada pembatas kertas yang berdimensi dua – tinggi dan lebar. Sebagaimana model – model yang dikemukakan dalam pembadahasan yang terdahulu, beberapa perpektif tidaklah mudah untuk disesuaikan pada konsep model komunikasi sebagai lukisan dalam bentuk gambar.

Tempat (Lokus) – Pengambilan Peran
Umumnya, perspektif interaksional di bidang komunikasi manusia merupakan reaksi humanistis terhadap mekanisme dan asumsi yang menyertainya tentanng kelineran yang terletak dalam saluran. Perpektif psikologis faham behaviorisme S-O-R-R sebenarnya tidak teralalu mengecewakan seperti mekanisme, akan tetapi model pelazimanan yang tesirat dalam faham behaviorisme membuat perspektif ini tidak dapat diterima dalam filsafat humanistis. Kedua perspektif itu terkandung di dalamnya kelinearan factor – factor kuasi – kausal yang menentukan mekanistis atau psikologis, sampai pada batas – batas tertentu, individu menjadi ‘korban’ dari pengaruh eksternal.




PERSPEKTIF PRAGMATIS
Perspektif pragmatis komunikasi manusia adalah yang paling berbeda dalam arti asal mula filosofisnya dan asumsi fundamental yang melandasinya. Tampaknya, pada prinsipnya, ia merupakan alternatif bagi perspektif mekanistis dan psikologis, dengan fokusnya pada urutan perilaku yang sedang berlangsung dalam ruang lingkup filosofis dan metodelogis teori sistem umum dan teori informasi.
Penekanannya pada urutan interaksi yang sedang berjalan, yang membatasi dan mendefinisikan sistem sosial, merupakan pemindahan dari penekanan perpektif interaksional pada pengambilan peran yang diinternalkan. Meskipun demikian, pemberian penekanan pada perilaku interaktif, sekalipun penjelasan kejadiannya itu berbeda, merupakan penekanan yang sama bagi perspektif pragmatis dan interaksional.
Yang fundamental bagi setiap studi komunikasi manusia yang serius dalam perspektif pragmatis adalah daftar kategori yang menyatakan fungsi yang dilakukan oleh komunikasi manusia dan yang memungkinkan tindakan komunikatif untuk diulang kembali pada saat yang berlainan. Langkah berikutnya dalam memahami komunikasi manusia adalah mengorganisasikan urutan yang sedang berlangsung ke dalam kelompok – kelompok karakteristik sehingga peristiwa itu ‘cocok’ satu sama lainnya dalam suatu pola yang dapat ditafsirkan. Urutan itu diberi cara penggunaannya berkat keterbatasan yang diberikan pada pilihan interaktif; yakni, makin redundan urutan itu, makin banyak struktur yang diperlihatkan oleh pola interaksi (dan, karenanya, sistem sosial komunikasi itu).
Penelitian dalam perspektif pragmatis masih sangat baru dan masih agak jarang. Banyak penelitian berpusat pada setting interpersonal dan kelompok, walaupun perpektif itu dapat diterapkan kepada setiap tingkat sistemis, termasuk komunikasi organisasi dan massa. Penelitian pragmatis dalam komunikasi manusia mencerminkan pertumbuhan yang pesat dari sistem kategori untuk menganalisa fungsi komunikatif dan lebih mencerminkan perhatian yang khusus dan unik dari setiap peneliti daripada sekedar suatu pengkajian paradigmatic yang jelas tegas tentang fenomena komunikatif yang dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat.
Perspektif pragmatis komunikasi dari perspektif pragmatis sama saja dengan memperbaharui secara drastic pola pikiran yang semuyla tentang komunikasi. Sebagai contoh, mengkonseptualisasikan komunikasi sebagai ‘melakukan’ suatu (seperti misalnya mengirimkan atau dikenal dan konsisten dengan cara kita berpikir yang konvensional tentang proses komunikasi. Akan tetapi untuk mengkonseptualisasikan komunikasi sebagai suatu tindakan ‘partisipasi’ atau ‘memasuki’ suatu sistem komunikasi ataupun hubungan memerlukan ‘goncangan’ pada cara berpikir kita yang tradisional. Meskipun demikian, kemampuan untuk mengenal cara kita berpikir dan menggunakan berbagai perspektif merupakan suatu tanda seorang yang terpelajar, dan kemampuan untuk mengkonseptualisasikan, adalah isyarat adanya pemahaman yang meningkat.

Model Pragmatis Komunikasi Manusia
Perspektif pragmatis jelas sulit untuk dilukiskan dalam model komunikasi yang berbentuk gambar. Setelah betul – betul mengetahui bahwa kompleksitas waktu lebih relevan bagi perspektif pragmatis daripada kompleksitas ruang. Gambar 6 menunjukkan penggambaran fenomena komunikatif yang ditinjau dari perpektif pragmatis. Tetapi, sekalipun kita tahu bahwa perpektif interaksional tidak dapat disesuaikan dnegan konsep yang dicontohkan dalam gambar, perspektif pragmatis bahkan lebih tidak dapat lagi. Beberapa perspektif memang lebih mudah untuk diuraikan dalam model yang berbentuk gambar daripada perspektif yang lainnya.

Komponen – komponen Khas
Komunikasi dalam perspektif pragmatis dimulai dengan perilaku orang – orang yang terlibat dalam komunikasi. Karena itu, satuan komunikasi yang paling fundamental adalah tindak perilaku atau tindak yang dijalankan secara verbal atau nonverbal oleh seorang peserta dalam peristiwa komunikatif.
Tindak itu lalu dikategorikan ke dalam berbagai fungsi yang dilaksanakan komunikasi. Tetapi tidak ada suatu daftar kategori fungsional pun yang dapat diterima secara luas di kalangan para anggota masyarakat ilmiah sebagai daftar fungsi yang dianggap memadai. Namun minat yang unik dan tujuan – tujuan penelitian dari eneliti itu sendiri. Sekalipun demikian, tindak yang dilakukan oleh komunikan diklasifikasikan ke dalam kategori fungsional dan karenanya dapat diulang kembali.

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer