PERSPEKTIF DALAM BINGKAI ILMU KOMUNIKASI
HAKIKAT PERSPEKTIF
Perspektif
pada hakikatnya adalah sudut pandang. Jika suatu perspektif atau pandangan
adalah ‘realistis’, maka sebagian dari suatu fenomena yang sedang dilihat itu
hilang dan yang lainnya adalah distorsi. Dengan kata lain setiap perspektif,
pada taraf tertentu, kurang lengkap serta didistorsi, meskipun ia merupakan
suatu yang amat ‘nyata’.
Nilai
perspektif kita tidak terletak dalam nilai kebenarannya atau seberapa baik ia
cerminkan realitas yang ada. Secara umum dapat dilatalam bahwa semua perspektif
yang dapat diperoleh adalah benar dan mencerminkan realitas. Sejalan dengan
itu, sebenarnya penulusuran kita adalah mencari perspektif yang dapat
memberikan kepada kita konseptualisasi realitas yang paling bermanfaat bagi
pencapai tujuan kita.
SIFAT – SIFAT PERPEKTIF
1. Penentuan
Relevansi
Perpektif
yang dipakai orang untuk meninjau fenomena apapun tidak sedikit menentukan
aspek apa dari fenomena itu yang dipandang penting atau relevan, dan
sebaliknya, aspek mana yang kiranya kurang penting dan relevan.
2. Ketertarikan
pada Waktu dan Budaya
3. Kemampuan
untuk Saling Dipertukarkan
4. Model
dan Analogi
KARAKTERISTIK KOMUNIKASI
Serba
ada, serba luas, dan serba makna, adalah ketiga kata sifat yang menjadi cirri
khas (karakteristik) yang seringkali dipakai untuk menggambarkan fenimena
komunikasi manusia, dan ketiga kata sifat itu memang sesuai sekali. Bahkan
dalam pemakaiannya setiap hari kita sering menggunakan istilah komunikasi dalam
berbagai cara.
PERSPEKTIF MEKANISTIS
Perspektif
mekanistis komunikasi manusia menekankan pada unsure fisik komunikasi,
penyampaian dan penerimaan arus pesan seperti ban berjalan di antara sumber /
para penerimanya.semua fungsi penting dari komunikasi terjadi pada saluran,
lokus, perspektif mekanistis. Mekanisme merupakan perspektif yang paling sering
dianut oleh para ahlo yang minat utamanya bukan pada komunikasi manusia,
misalnya, para ahli psikologi sosial, para ahli antropologi, para spesialis
dalam manajemen perusahaan, dan sejenisnya. Namun begitu, jejak perspektif
mekanistis merasuki sejumlah besar penelitian komunikasi.
Walaupun
sebagian terbesar para komunikologis akan menolak menyebut diri mereka sebagai ‘penganut mekanistis’, namun begitu,
banyak diantara mereka yang masih mempergunakan berbagai unsure konseptual atau
teoritis mekanisme dalam mengarahkan jalan pikiran dan usaha – usaha penelitian
mereka.
Sekalipun
ada kesalahan yang dituduhkan, bersifat antihumanis, perspektif mekanistis
merupakan perspektif yang telah tersebar luas, mudah dipakai, dan bernilai
untuk meninjau hubungan di antara variable komunikasi manusia. Ia masih tetap
hanya sebuah perspektif, di antara berbagai yang ada, sebagai suatu kerangka
untuk mengorganisasi secara konseptual dan memahami proses komunikasi manusia.
Sebagai
peneliti komunikasi manusia, kita perlu memahami mekanisme sebagai suatu
perspektid unntuk memahami komunikasi manusia. Ia bukan satu – satunya
perspektif, ia pun tidak salah. Selama orang mempergunakan mekanisme untuk
memahami fenomena komunikasi, kita perlu memahaminya.
MODEL
MEKANISTIS
Erving Goffman (1969:IX), ahli sosiologi memandang komunikasi sebagai ‘saluran yang terorganisasikan secara sosial untuk menyampaikan informasi’ dan melanjutkan lebih jauh dengan mengatakan bahwa komunikasi hanya ‘secara nyata dan dititikberatkan pemakaiannya’ pada mekanistis saja.
Erving Goffman (1969:IX), ahli sosiologi memandang komunikasi sebagai ‘saluran yang terorganisasikan secara sosial untuk menyampaikan informasi’ dan melanjutkan lebih jauh dengan mengatakan bahwa komunikasi hanya ‘secara nyata dan dititikberatkan pemakaiannya’ pada mekanistis saja.
Dengan
perkataan lain lagi, perspektif komunikasi yang dianut oleh sebagai besar
orang, termasuk orang awam maupun para ahli, berisi dosis mekanisme yang kuat.
Ia mudah dipergunakan bagi pembentangan secara visual dalam bentuk model yang
cukup terdiri dari kertas dan pensil saja, yang jelas berkat penekanannya yang
ada padanya atas sifat spasialnya.
Model Mekanistis Komunikasi Manusia
Proses
saling tukar – menukar pesan itu dilukiskan dalam Gambar 1 sebagai suatu
saluran anti kontinu. Pada kenyataannya, orang dapat memvisualisasikan saluran
alur – kontinu. Pada kenyataannya, orang dapat memvisualisasikan saluran itu
sebagai semacam ‘ban berjalan’ (corveroy
belt) yang selalu dan secara simultan berjalan antara kedua sumber /
penerima, yang berperan sebagai ‘tenaga penggerak’ dalam analogi ban berjalan.
Dan pesan mengalir terus melalui saluran ban berjalan dalam suatu alur yang
divisualisasikan pada tiap titik pada saluran itu daripada hanya kedua titik
sebagai terpapar dalam Gambar 1.
Jika
kita memakai analogi ban berjalan, titik asal di mana proses penyampaian –
penerimaan mulai menjadi kurang penting dan kurang dapat dibedakan saat prose
situ terus berjalan. Karena itulah, membedakan satu komunikatif sebagai
sumbernya dan yang lain sebagai si penerimanya menjadi tidak hanya tidak
mungkin akan tetapi juga tidak berarti. Namun demikian, penyampaian dan
penerimaan pesan tetap merupakan suatu yang penting dan sentral dari model
mekanistis itu.
Model Jaga Gerbang (Gate Keeping)
Istilah
penjaga gerbang ini tampaknya berasal dari penjabaran teori medan Kurt Lewin
(1951) dalam ilmu sosisl dan mengemukakan fungsinya sebagaimana yang tertar
pada istilah itu sendiri. Fungsi penjaga gerbang itu terdapat pada saluran
atara sumber dan penerima dan berperan sebagai perantara keduanya.
Gambar
2 memperlihatkan fungsi penjaga gerbang tersebut dalam komunikasi manusia dalam
usaha model arus pesan sederhana yang terdiri dari tiga unsur. Biasanya rantai
ini dapat diperluas menjadi empat, lima, atau lebih komunikator, masing –
masing dari mereka akan berfungsi sebagai penjaga gerbang kecuali bagi
sumber/penerima yang pertama dan terakhir dalam rangaian tersebut.
Penjaga
gerbang berfungsi menerima informasi dari suatu sumber dan merelai informasi
tersebut kepada seorang penerima. Fungsi jaga gerbang ini dapat pula bekerja
dalam dua arah. Konsep penjaga gerbang ini mungkin kita kenal dalam pengertian
sebagai ‘rangkaian’ informasi atau desas – desus (rumors) yang disebarkan ke
seluruh sistem sosial yang bersangkutan.
PERSPEKTIF PSIKOLOGIS
Perspektif
psikologis tentang komunikasi memfokuskan perhatiannya pada individu – si
komunikator / penafsir – baik secara teoritis maupun empiris. Secara lebih
spesifik lagi, yang menjadi fokus utama dari komunikasi adalah mekanisme
internal penerimaan dan pengolahan informasi. Fokus ini telah menimbulkan
orientasi komunikasi manusia yang terpusat pada si penerima. Walaupun bidang
psikologis sebenarnya yang dipinja, perspektif ini masih tidak jelas, unsure –
unsure perantara dari behaviorisme S-O-R dan psikologi kognitif, khususnya
teori keseimbangan, cenderung untuk mendominasi usaha penelitian para ilmuan
komunikasi yang mempergunakan perpektif psikologis.
Perspektif
psikologis tidaklah merupakan perspektif yang menyatu secara manunggal dalam
pengkajian komunikasi. Sebaliknya, dalam kerangka perspektif ini terdapat
pendekatan metodelogis, konsep yang dipakai, serta definisi operasinal yang
digunakan, yang amat beranekaragam. Sampai pada tingkat tertentu, ketidaksamaan
ini mencerminkan sebagian besar kekalutan yang terdapat di dalam disiplin
psikologi. Sudah tentu, penekanan pada filter konseptual yang berupa black box itu (seperti misalnya sikap, persepsi,
keyakinan dan keinginan) telah mempercepat timbulnya arah yang berlainan ini.
Hendaknya
juga telah menjadi jelas bahwa banyak dari penteorian, pembuatan model, dan
penelitian dalam kommunikasi tidak menerapkan perpektif psikologis dalam
bentuknya yang murni, pada kenyataannya, bagian terbesar dari penelitian
tentang dan sekitar komunikasi barangkali merupakan pencampuran unsure
mekanistis dan psikologis, mungkin dengan penekanan yang lebih besar pada aspek
psikologisnya.
Seandainya
kita menghitung suara semua anggota Speech
Communication Association and International Communication Assiciation,
misalnya, kita barangkali akan mengidentifikasikan diri mereka sebagai penganut
sejenis perspektif psikologis. Menurut Khun, paradigm yang paling popular di
dalam suatu bidang ilmu adalah paradigm sebenarnya dari ilmu tersebut, yang
paling terkenal dan digemari secara khas. Dengan sendirinya, setiap peneliti
komunikasi yang seruis harus betul – betul mengenal dan mengetahui perspektif
psikologis.
Teori Peramalan Respon
Tujuan
penjelasan S-R berpusat pada peramalan, dan peramalan berpusat pada respons.
Sebenarnya respon dianggap sebagai perulaku yang dapat secara langsung
diamatai, dan penjelasan psikolologi berusaha menghubungkan, yakni menjelaskan
perilaku dalam artian stimuli dan keadaan internal. Memang jelas bahwa respons
tidak dapat diramalkan semata – mata dalam arti sifat fisik stimulus. Respons
lebih dapat diuntungkan dengan keadaan internal yang diaktifkan oleh
psikologis.
Untuk
dapat memahami penjelasan yang didasarkan secara psikologis ada satu factor
respons perilaku yang perlu diketahui. Sejarah kondisi stimulus sebelumnya yang
telah dihadapi oleh organism penting diketahui untuk meramalkan perilaku, bilai
situasi stimulus tertentu diketahui. Dengan perkataan lain, keadaan internal
organism berisi anasir stimulasi yang terdahulu, yang mempengaruhi repsons
dalam situasi berkutnya yang dinilainya sama. Jika stimulasi smuala
mempengaruhi respons kepada kondisi stimulus tertentu, maka setidak – tidaknya
beberapa unsure dari keadaan antara internal itu sendiri merupakan produk atau
respons pada pengalaman stimulus terdahulu.
Model Psikologi Komunikasi Manusia
Orientasi
S-R cukup menonjol dalam perspektif psikologis tentang komunikasi manusia.
Pertama, perspektif ini menganggap bahwa manusia baerada dalam suatu medan
stimulus, yang secara bebas disebut sebagai suatu lingkungan informasi. Di
sekililing setiap orang terdapat arus stimuli yang hamper tidak terbatas
jumlahnya (Gambar 3), semuanya dapat diproses melalui organ – organ indra
penerima, yakni penglihatan, pendenngaran, perabaan, perabaan, penciuman, dan
rasa. Dalam pengertian, semua stimulus ini bersaing unntuk diterima karena
banyaknya sehingga jumlahnya melebihi kaoasitas manusia untuk menerima
mengolahnya.
Sudah
tentu, manusia yang sedang berkomunikasi tidak hanya menerima stimuli akan
tetapi iapun menghasilkan stimuli. Sama sebagaimana halnya dengan konsep
sumber/penerima dalam model mekanistis, dalam model psikologis manusia ditandai
sebagai mahhluk yang memiliki seorang komunikator/penafsir stimuli
informasional.
PERPEKTIF INTERAKSIONAL
Walaupun
asal mula perspektif interaksional komunikasi manusia dapat ditelusuri sampai
ke filsafat eksistensialisme dan bahkan ke Socrates, sumbernya yang khusus dan
komprehensif dari perspektif ini secara langsung ataupun tidak langsung adalah
interaksionalisme simbolis dalam sosiologi. Mead dan Blumer telah bertindak
sebagai sumber – sumber utama bagi filsafat dasarnya, yang melandasi model
interaksional komunikasi manusia. Secara khusus lagi, arah perkembangan dalam
masyarakat ilmiah komunikasi manusia yang memperlakukan komunikasi sebagai
dialog adalah adanya indikasi yang terang sekali daru oendekatan interaksional
pada studio komunikasi manusia.
Popularitas interkasionalisme berasal sebagian dari
reaksi humanistis tergadao mekanisme dan psikologisme. Akan tetapi, yang lebih
penting lagi, adalah pemberian penekanan yang manusiawi pada diri sebagai
unsure pokok perpektif interaksional. Tetapi daripada memandang diri hanya
sebagai internalisasi pengalaman indivisual, interaksional lebih menerangkan
perkembangan diri melalui proses ‘penunjukan diri’ di mana individu dapat
‘bergerak ke luar’ dari diri dan melibatkan dirinya dalam introspeksi dari
sudut pandangan orang lain.
Dengan
cara yang sama, individu dapat melibatkan dirinya dalam pengambilan peran dan
mendefinisikan diri maupun orang lain dari sudut pandang orang lain. Fenomena
pengambilan peran inilah yang memungkinkan adanya pengembangan diri semata –
mata sebagai proses sosial – dalam proses introspeksi ataupun ekstrospeksi.
Oleh karena, hanya melalui interaksi sosial, diri atau hubungan dapat
dikembangkan. Dan pengambilan peran tidak hanya merupakan unsure sentral dari
perspektif interaksional, akan tetapi juga merupakan unsur yang unik.
Perpektif
interaksional menekankan tindakan yang bersifat simbolis dalam suatu perkembangan
yang bersifat proses dari komunikasi manusia. Penekanannya pada tindakan
memungkinkan pengambilan peran untuk mengembangkan tindakan bersama atau
mempersatukan tindakan individu dengan tindakan individu – individu yang lain
untuk membentuk kolektivitas. Tindakan bersama dari kolektivitas itu
mencerminkan tidak hanya pengelompokan sosial akan tetapi juga adanya oersaan
kebersamaan ataupun keadaan timbale balik dari individu – individu yang
bersangkutan, yang dilukiskan dalam model sebagai ‘kesearahan’ orientasi
individu – individu terhadap diri orang lain, dan objek.
Barangkali
implikasi yang paling penting dari perspektif interaksional bagi studio
komunikasi manusia adalah adanya penyempurnaan pemberian penekanan pada
metodologi penelitian. Implikasinya yang pertama mencakup pemahaman yang
disempurnakan tentang peran yang akan dijalankan oleh peneliti. Daripada hanya
digambarkan sebagai seorang pengamat yang sifatnya berat sebelah, tidak bias,
dan tidak tertarik atau fenomena empiris, peneliti interaksional menjalankan
peranannya sebagai seorang pengamat – partisipan dalam pelaksanaan
penelitiannyta. Ia melibatkan dirinya dalam pengambilan peran agar dapat
menemukan sudut pandangan para subjek penelitian. Dari sudut pandang mereka,
peneliti mengoperasionalkan konsep dan menjalankan observasi empirisnya, akan
tetapi, validasi konsep penelitiannya bergeser dari criteria eksternal ke sudut
pandangan para subjek penelitian itu sendiri.
Perpektif
interaksional dengan jelas merupakan sumber yang menarik oergatuab irabf dakan
oebfertuab vagwa ua verada dalam tahap perkembangan yang kontinu. Dalam artian
sebagai ‘revolusi yang masih belum tuntas’ setiap penemuan penelitian secara
relative bersifat baru dan mengarah ke banyak arah yang baru. Penelitian yang kontemporer
mencerminkan jiwa penelitian yang sesungguhnya dalam artian bahwa para peneliti
tidak terlalu banyak melibatkan diri dalam pengukuhan atau verifikasi
hipotesis, akan tetapi lebih banyak berusaha menemukan bagaimana hipotesis itu
seharusnya. Penelitian interaksional masih harus banyak memberikan jawaban pada
masalah ataupun masih harus menghasilkan banyak jawaban. Ia telah menimbulkan
banyak masalah baru yang sebelumnya masih belum diketahui sebagai masalah bagi
penelitian.
Pada
sisi lain, penelitian interaksional kurang memiliki arah atau fokus dalam upaya
– upayanya. Para peneliti harus masih harus mengembangakan metodologi baru yang
diperlukan bagi panduan interaksional / dialogis dan, sebagai gantinya, bukan
mencoba dengan paksa mencocokan masalah penelitian interaksional ke dalam
metodologi tradional – khususnya yang bersikap psikologis. Oleh karenanya, para
peneliti yang didorong faham interaksionalisme juga belum mengembangkan fokus
bersama tentang variable apa yang paling penting, konsep apa yang perlu
dikembangkan atau dikaji, dan kea rah mana usaha mereka itu selauaknya
diarahkan. Dengan singkat dapat dikatakan, bahwa penelitian yang terprogramkan,
yang menghasilkan kumulasi hasil penelitian tidak menandai penelitian
komunikasi dalam paradigm interaksional.
Sebagai
akibatnya, sebagian anggota masyarakat ilmiah cenderung memandang rendah
perspektif interaksional. Sudah tentu itu hak mereka dan bahkan kewajiban
mereka untuk memandang pengkajian disiplin ilmu dengan kewaspadaan yang kritis.
Namun, sayangnya, banyak dari kritik itu didasarkan pada criteria – criteria
yang salah --- metodelogi – metodelogi yang lain atau yang belum dikenal, yang
tidak mereflesikan pendekatan yang lebih tradisional dalam melakukan
penelitian. Argumen – argumen seperti sinonim – yakni, mengkritik satu
paradigma dari sudut pandangan yang lain benar – benar menyesarkan dan tidak
sesuai dengan jiwa penelitian ilmiah. Tidak akan membanyak kemanapun.
Secara
relative persepktif interaksional masih baru bagi disiplin komunikasi manusia.
Nilai sesungguhnya yang diperlihatkan masih harus direalisasikan. Potensi bagi
wawasan baru dalam proses komunikasi manusia luar biasa. Dalam satu hal,
tinjuan interaksional – dialogis tentang komunikasi manusia sedang dalam masa
‘bulan madu’. Ia hanya dapat diwvaluasi atas dasar potensinya. Kita harus
memgambil sikap menunggu dan melihat. Pada waktu ini, pendekatan bersikap revolusioner
dan berbeda sekali. Apa yang akan terjadi dalam 20 tahun yang akan datang akan
memperlihatkan nilai perspekstif itu kepada masyarakat ilmiah – secara langsung
dapat dilihat kualitasnya dari penemuan penelitiannya. Dalam situasi apapun,
apapun yang terjadi – apakah makin meningkat kepopulerannya dan makin penting
penelitiannya, atau hilangnya interaksional memberikan pandangan humanistis
yang segar pada komunikasi manusia.
Model Interaksional Komunikasi Manusia
Untuk
melukiskan model inteaksional tentang komunikasi manusia dalam gambar
berdimensi dua bukanlah pekerjaan yang mudah. Meskipun gambar 4 dianggap dapat
mencerminkan model interaksional, dalam banyak hal ia dapat memberikan gambaran
yang salah. Pertama – tama, model itu mengemukakan adanya pemisahanan diri,
orang lain, dan objek, yang realitasnya, orientasi terhadap ketiganya bersifat
simultan dan tidak terpisahkan – lebih merupakan orientasi gestalt, masing – masing mempengaruhi oleh yang lainnya.
Model
inipun sebagai yang tergambarkan, menggambarkan kemangunggalan yang
unidimensional dari diri, oranglain, objek, dan konteks cultural, yang jelas
tidak mencerminkan realitas. Model ini juga tidak memungkinkan secara jelas
menggambarkan tindakan, yang merupakan sine
qua non dari perspektif interaksional.
Dengan
kata lain, gambar 4 dapat merupakan gambar model interaksional, akan tetapi
gambar lazimnya tergantung pada pembatas kertas yang berdimensi dua – tinggi
dan lebar. Sebagaimana model – model yang dikemukakan dalam pembadahasan yang
terdahulu, beberapa perpektif tidaklah mudah untuk disesuaikan pada konsep
model komunikasi sebagai lukisan dalam bentuk gambar.
Tempat (Lokus) – Pengambilan Peran
Umumnya,
perspektif interaksional di bidang komunikasi manusia merupakan reaksi
humanistis terhadap mekanisme dan asumsi yang menyertainya tentanng kelineran
yang terletak dalam saluran. Perpektif psikologis faham behaviorisme S-O-R-R
sebenarnya tidak teralalu mengecewakan seperti mekanisme, akan tetapi model
pelazimanan yang tesirat dalam faham behaviorisme membuat perspektif ini tidak
dapat diterima dalam filsafat humanistis. Kedua perspektif itu terkandung di
dalamnya kelinearan factor – factor kuasi – kausal yang menentukan mekanistis
atau psikologis, sampai pada batas – batas tertentu, individu menjadi ‘korban’
dari pengaruh eksternal.
PERSPEKTIF PRAGMATIS
Perspektif
pragmatis komunikasi manusia adalah yang paling berbeda dalam arti asal mula
filosofisnya dan asumsi fundamental yang melandasinya. Tampaknya, pada
prinsipnya, ia merupakan alternatif bagi perspektif mekanistis dan psikologis,
dengan fokusnya pada urutan perilaku yang sedang berlangsung dalam ruang
lingkup filosofis dan metodelogis teori sistem umum dan teori informasi.
Penekanannya
pada urutan interaksi yang sedang berjalan, yang membatasi dan mendefinisikan
sistem sosial, merupakan pemindahan dari penekanan perpektif interaksional pada
pengambilan peran yang diinternalkan. Meskipun demikian, pemberian penekanan
pada perilaku interaktif, sekalipun penjelasan kejadiannya itu berbeda,
merupakan penekanan yang sama bagi perspektif pragmatis dan interaksional.
Yang
fundamental bagi setiap studi komunikasi manusia yang serius dalam perspektif
pragmatis adalah daftar kategori yang menyatakan fungsi yang dilakukan oleh
komunikasi manusia dan yang memungkinkan tindakan komunikatif untuk diulang
kembali pada saat yang berlainan. Langkah berikutnya dalam memahami komunikasi
manusia adalah mengorganisasikan urutan yang sedang berlangsung ke dalam
kelompok – kelompok karakteristik sehingga peristiwa itu ‘cocok’ satu sama
lainnya dalam suatu pola yang dapat ditafsirkan. Urutan itu diberi cara
penggunaannya berkat keterbatasan yang diberikan pada pilihan interaktif;
yakni, makin redundan urutan itu, makin banyak struktur yang diperlihatkan oleh
pola interaksi (dan, karenanya, sistem sosial komunikasi itu).
Penelitian
dalam perspektif pragmatis masih sangat baru dan masih agak jarang. Banyak
penelitian berpusat pada setting interpersonal dan kelompok, walaupun perpektif
itu dapat diterapkan kepada setiap tingkat sistemis, termasuk komunikasi
organisasi dan massa. Penelitian pragmatis dalam komunikasi manusia
mencerminkan pertumbuhan yang pesat dari sistem kategori untuk menganalisa
fungsi komunikatif dan lebih mencerminkan perhatian yang khusus dan unik dari
setiap peneliti daripada sekedar suatu pengkajian paradigmatic yang jelas tegas
tentang fenomena komunikatif yang dilaksanakan oleh sebagian besar masyarakat.
Perspektif
pragmatis komunikasi dari perspektif pragmatis sama saja dengan memperbaharui
secara drastic pola pikiran yang semuyla tentang komunikasi. Sebagai contoh,
mengkonseptualisasikan komunikasi sebagai ‘melakukan’ suatu (seperti misalnya
mengirimkan atau dikenal dan konsisten dengan cara kita berpikir yang
konvensional tentang proses komunikasi. Akan tetapi untuk
mengkonseptualisasikan komunikasi sebagai suatu tindakan ‘partisipasi’ atau
‘memasuki’ suatu sistem komunikasi ataupun hubungan memerlukan ‘goncangan’ pada
cara berpikir kita yang tradisional. Meskipun demikian, kemampuan untuk
mengenal cara kita berpikir dan menggunakan berbagai perspektif merupakan suatu
tanda seorang yang terpelajar, dan kemampuan untuk mengkonseptualisasikan,
adalah isyarat adanya pemahaman yang meningkat.
Model Pragmatis Komunikasi Manusia
Perspektif
pragmatis jelas sulit untuk dilukiskan dalam model komunikasi yang berbentuk gambar.
Setelah betul – betul mengetahui bahwa kompleksitas waktu lebih relevan bagi
perspektif pragmatis daripada kompleksitas ruang. Gambar 6 menunjukkan
penggambaran fenomena komunikatif yang ditinjau dari perpektif pragmatis.
Tetapi, sekalipun kita tahu bahwa perpektif interaksional tidak dapat
disesuaikan dnegan konsep yang dicontohkan dalam gambar, perspektif pragmatis
bahkan lebih tidak dapat lagi. Beberapa perspektif memang lebih mudah untuk
diuraikan dalam model yang berbentuk gambar daripada perspektif yang lainnya.
Komponen – komponen Khas
Komunikasi
dalam perspektif pragmatis dimulai dengan perilaku orang – orang yang terlibat
dalam komunikasi. Karena itu, satuan komunikasi yang paling fundamental adalah
tindak perilaku atau tindak yang dijalankan secara verbal atau nonverbal oleh
seorang peserta dalam peristiwa komunikatif.
Tindak
itu lalu dikategorikan ke dalam berbagai fungsi yang dilaksanakan komunikasi.
Tetapi tidak ada suatu daftar kategori fungsional pun yang dapat diterima
secara luas di kalangan para anggota masyarakat ilmiah sebagai daftar fungsi
yang dianggap memadai. Namun minat yang unik dan tujuan – tujuan penelitian
dari eneliti itu sendiri. Sekalipun demikian, tindak yang dilakukan oleh
komunikan diklasifikasikan ke dalam kategori fungsional dan karenanya dapat
diulang kembali.
sankyuu ...
BalasHapus