HATI - HATI : Kemampuan “Cuci Otak” Televisi


HATI - HATI : Kemampuan “Cuci Otak” Televisi
Oleh : Astri Dwi Andriani S Ikom

Saat ini, di banyak negara televisi telah menjadi hiburan utama yang ada di sebuah keluarga. Tidak hanya untuk kalangan menengah – atas, kaum masyarakat yang memiliki kemampuan ekonomi lemah pun telah tersihir dengan beragam tontonan hiburan yang disajikan oleh televisi. 
Pada awalnya, media massa elektronik ini memiliki fungsi yang sangat baik bagi masyarakat. Beberapa diantaranya adalah fungsi informasi, fungsi edukasi (pendidikan), fungsi entertainment (hiburan), maupun fungsi persuasi (membujuk). Meski demikian, secara sadar ataupun tidak, kini media televisi telah menjadi salah satu wadah ‘pencuci otak’ manusia yang mampu menyalurkan pesan – pesan persuasi (bujukan) kepada penontonnya. 
Kita bisa lihat sekarang, televisi dijadikan sebagai ‘tuhan - tuhan’ kecil yang menjadi acuan banyak orang. Mulai dari acuan fesyen, gaya hidup, bisnis, pendidikan, politik, hingga tindakan kriminal. Yang lebih parah, untuk beberapa kalangan, informasi yang disajikan oleh media televisi menjadi kebutuhan dasar yang tidak dapat terelakan lagi. Di mana dia akan merasa ketinggalan jaman jika sehari saja tidak menonton televisi. Televisi dijadikan media rujukan utama, dibandingkan dengan media lainnya misalnya media cetak (koran) dan media elektronik auditif (radio). 
Hal ini karena televisi memiliki kelebihan dalam segi pengemasan (penampilan) dibanding media lain. Televise memiliki tampilan audiovisual (dapat dilihat dan didengar) lebih lengkap dibanding dengan media terdahulunya yakni koran (yang hanya dapat dilihat / dibaca) dan radio (hanya dapat didengar). Sehingga banyak penonton lebih tertarik mendapatkan informasi dari televisi dibanding media lainnya.
Dari fenomena tersebut, dalam dunia komunikasi lahirlah teori jarum hipodermik, yang memandang khalayak sebagai ‘pasien’ yang tidak berdaya diberikan suntikan jarum (dalam hal ini arus informasi) yang ditayangkan oleh televisi. Beberapa orang yang menjadi pecandu media televisi pada akhirnya akan beranggapan bahwa segala informasi yang disampaikan melalui media televisi adalah sebuah kebenaran. 
Berdasarkan sejarahnya, sejak tahun 1960-an media televisi telah diperbincangkan dan menjadi fokus kajian menarik bagi masyarakat Amerika Serikat. Hal ini terlihat dengan banyak studi dan penelitian terhadap media yang satu ini, baik dari sisi isi media, budaya, dan dampaknya bagi masyarakat karena sifatnya yang audio visual dan mampu memberikan efek dramatisasi visual yang sangat kuat bagi pemirsa. 
Pesona televisi tampaknya sangat menarik khalayak dan peneliti untuk melakukan kajian terhadap isi tayangannya bagi khalayak, khususnya tindak kekerasan yang diakibatkan karena munculnya tayangan-tayangan bernuansa kekerasan yang ditampilkan di televisi, seperti yang dikemukakan oleh George Gerbner.
Dari fenomena yang ditelitinya, Gerbner menemukan Cultivation Analysis (analisis kultivasi). Gerbner menguraikan bahwa para pecandu berat (heavy viwers) televisi menganggap bahwa dunia ini cenderung dipercaya sebagai tempat yang buruk dari pada mereka yang tidak termasuk pecandu berat (light viewers). 
Efek kultivasi melalui tayangan kekerasan memberi penjelasan bahwa televisi mempunyai pengaruh yang kuat pada diri individu. Bahkan dalam hal yang ekstrim pemirsa menganggap bahwa lingkungan sekitar sama persis seperti yang tergambar dalam televisi sebagai realitas nyata. Disisi lain, tayangan kekerasan dalam dunia tontonan menjadi formula yang bisa menarik secara komersil. Karena dalam ranah jurnalistik dikenal “bad news is good news” artinya berita buruk yang terjadi di masyarakat menjadi ‘kabar baik’ (memiliki nilai jual yang baik untuk diangkat di media massa. 
Sebagai contoh dalam penelitian yang dilakukan oleh Devito pada tahun 1997, pencandu berat televisi menyatakan bahwa kemungkinan seseorang menjadi korban kejahatan adalah 1 berbading 10. Dalam kenyataan angkanya adalah 1 berbanding 50.
Pecandu berat televisi mengira bahwa 20% dari total penduduk dunia berdiam diri di Amerika. Kenyataannya hanya 6%. Pecandu berat percaya bahwa persentase karyawan dalam posisi manajerial atau professional adalah 25%. Kenyataannya hanya 5%. Bagi pecandu berat televisi, apa yang terjadi pada televisi itulah yang terjadi pada dunia sesungguhnya.
Sementara itu, Nancy Signorielli (Littlejohn, 1996) melaporkan studi tentang sindrom dunia kejam. Dari penelitian yang dilakukan, dia menemukan terdapat lebih dari 2.000 program (termasuk 6.000 karakter utama) di tontonan anak memperlihatkan adegan kekerasan (penelitian dilakukan pada tahun 1967 – 1985). 
Analisis ini membuktikan heavy viewers (pecandu berat televisi) memandang dunia lebih muram dan kejam dibandingkan dengan orang yang jarang menonton televisi. Tidak salah jika kemudian Gerbner dan kawan-kawan melaporkan bahwa heavy viewers melihat dunia lebih kejam dan menakutkan seperti yang ditampilkan televisi dari pada orang-orang yang jarang menonton.
Para pecandu berat televisi akan mengatakan sebab utama munculnya kekerasan karena masalah sosial (karena televisi yang ditonton sering menyuguhkan berita dan kejadian dengan motif sosial sebagai alasan melakukan kekerasan). Padahal bisa jadi sebab utama itu lebih karena keterkejutan budaya (cultural shock) dari tradisional ke kehidupan modern. Teori kultivasi berpendapat bahwa pecandu berat televisi membentuk suatu realitas yang tidak konsisten dengan kenyataan.
Lebih parah lagi adalah apa yang ditemukan oleh Leonard Eron dan Rowell Huesman yang menyatakan bahwa tontonan kekerasan yang dilihat anak pada usia 8 tahun akan mendorong tindakan kriminal pada usia 30 tahun.
Televisi sendiri merupakan media yang unik. Hal ini karena televisi memiliki karakteristik yang khas dibanding media lainnya. Yang pertama adalah televisi bersifat pervasive artinya menyebar dan hampir dimiliki seluruh keluarga. Yang kedua adalah sifat assesible, artinya dapat diakses tanpa memerlukan kemampuan literasi atau keahlian lain. Dan yang terakhir adalah sifat coherent, artinya mempersentasikan pesan dengan dasar yang sama tentang masyarakat melintasi program dan waktu.
Dari studi yang dilakukan Gerbner, dirinya menyatakan bahwa semakin banyak seseorang menghabiskan waktu untuk menonton televisi, semakin kuat kecenderungan orang tersebut menyamakan realitas televisi dengan realitas sosial. 
Jadi menurut asumsi ini, dunia nyata (real world) di sekitar penonton dipersamakan dengan dunia rekaan yang disajikan media tersebut (symbolic world). Dengan bahasa yang lebih sederhana dapat dikatakan bahwa penonton mempersepsi (menerjemahkan) apapun yang disajikan televisi sebagai kenyataan sebenarnya. 
Namun teori ini tidak menggeneralisasi pengaruh tersebut berlaku untuk semua penonton, melainkan lebih cenderung pada penonton dalam kategori heavy viewer (penonton berat). 
Hasil pengamatan dan pengumpulan data yang dilakukan oleh Gerbner dan kawan-kawan bahkan kemudian menyatakan bahwa heavy viewer mempersepsi (menerjemahkan) dunia ini sebagai tempat yang lebih kejam dan menakutkan (the mean and scray worlddaripada kenyataan sebenarnya. 
Fenomena inilah yang kemudian dikenal sebagai “the mean world syndrome” (sindrom dunia kejam) yang merupakan sebentuk keyakinan bahwa dunia merupakan sebuah tempat yang berbahaya, sebuah tempat di mana sulit ditemukan orang yang dapat dipercaya, sebuah tempat di mana banyak orang di sekeliling kita yang dapat membahayakan diri kita sendiri. Untuk itu orang harus berhati-hati menjaga diri. Pembedaan dan pembandingan antara heavy dan light viewer di sini dipengaruhi pula oleh latar belakang demografis di antara mereka.
Tidak hanya berlaku untuk tontonan kekerasan, teori kultivasi ini juga berlaku untuk tontonan genre lainnya, misalnya horor, aksi, hingga drama. Berdasarkan teori tersebut, seseorang yang lebih aktif menonton film hantu akan memiliki sifat lebih penakut dibandingkan orang yang jarang menonton televisi. 
Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Domonick pada tahun 1990, di mana pecandu opera sabun (kisah drama yang ditayangkan di televise seperti FTV, TVM, atau pun sinetro) lebih memungkinkan melakukan affairs (menyeleweng), bercerai, dan menggugurkan kandungan dari pada mereka yang bukan termasuk pecanduan opera sabun.
Maka dari itu, sebagai penonton yang baik, alangkah bijaknya jika kita pandai memilih tontonan. Tidak hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang terdekat seperti keluarga, sahabat, maupun keluarga. Terimakasih. Semoga bermanfaat.

Komentar

Postingan Populer