PUBLIZISTIK WISSENSCHAFT
Lama sudah ilmu yang
mengkaji pernyataan antarmanusia hanya sekitar pernyataan secara lisan dan
secara tatap muka, baik dalam bentuk dialog di antara dua orang, maupun dalam
bentuk kepada sekelompok hadirin. Dan itulah retorika yang telah dibicarakan di
muka.
Pada tataran selanjutnya,
komunikasi antar manusia dikembangkan dalam bentuk media. Hal ini sesuai dengan
metode dakwah yang selama ini dikenal. Pertama, berdakwah dengan lisan (bil
lisan) seperti berceramah, pengajian dan sebagainya. Kedua, dengan tulisan (bil
qalam) atau disebut juga dengan dakwah bittadwin. Berdakwah dengan tulisan ini
bisa melalui surat kabar, majalah, buletin atau brosur.
Jika ditengok dari
sejarahnya, komunikasi melalui media ini berkembang sejak zaman Romawi Kuno. Tetapi
belum dapat dinilai sebagai ilmu, baru merupakan fenomena atau gejala. Ini
terjadi ketika Gaius Julius Caesar (100 – 44 SM), kaisar Romawi yang termasyur
mengeluarkan peraturan agar kegiatan – kegiatan Senat setiap hari diumumkan
kepada masyarakat dengan cara ditempel pada papan pengumuman yang dinamakan Acta Diurna.
Kegiatan pemberitaan melalui
Acta Diurna ini merupakan cikal bakal yang kita kenal sekarang
sebagai kegiatan jurnalistik, yang dalam buku ini akan dikupas lebih jauh pada
bab tentang pers dan jurnalisitik.
Sampai abad satu Masehi
pernyataan antarmanusia untuk jarak jauh masih dilakukan dengan menggunakan
papyrus atau daun lontar, kulit binatang, logam tipis, dan lain – lain. Setelah
ditemukannya kertas oleh bangsa Cina bernama Ts’ai Lun pada tahun 105 M, kegiatan
itu baru menggunakan kertas. Apabila setelah seorang berkebangsaan Jerman,
Johannes Gunteberg (1400 – 1469) menemukan mesin cetak, yang mampu
melipatgandakan tulisan tercetak, saling menyampaikan pernyataan di antara
manusia semakin banyak.
Fenomena jurnalistik yang
sudah tampak pada Acta Diurna tadi ternyata tidak berkembang disebabkan
kekaisaran Romawi mengalami masa gelap (dark
ages).
Baru tahun 1609 muncul di
Jerman surat kabar pertama dalam sejarah dengan menyandang nama “Avisa Relation
Oder Zeitung” disusul oleh “Weekly News” yang diterbitkan di Inggris pada tahun
1622.
Perkembangan surat kabar
dalam bidang penyebaran informasi itu, ternyata menunjukkan pengaruhnya yang tidak
kecil terhadap pemerintah dan masyarakat, sehingga mengundang perhatian para
cendikiawan untuk mempelajarinya. Lebih – lebih setelah muncul ungkapan
Napoleon Bonaparte yang terkenal yakni menyatakan bahwa ia lebih takut pada
empat surat kabar yang terbit di Paris daripada seratus serdadu dengan sangkur
terhunus. Kegentara kaisar Napolepn yang terpaksa itu karena surat kabar itu
tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga opini yang dengan tajam sering
mengeritik pemerintah.
Sebagai hasil telaah para
cendikiawan terhadap perkembangan dan pengaruh surat kabar itu, muncullah di
Inggris “Science of the Press”, di Perancis “Science de la Presse”, di
Nederland “Dagbladwtenschap” dan di Jerman Zeitungswissenschaft”, yang
kesemuanya berarti “Ilmu Persuratkabaran”. Ini terjadi pada abad ke 19.
Jelas bahwa pada waktu itu,
persuratkabaran oleh para cendikiawan Eropa sudah dianggap ilmu (science, wetenschap, wissenschaft).
Sarjana – sarjana yang dikenal giat melibatkan diri dalam ilmu persuratkabaran
itu, antara lain Dr Friedrich Nedebach, Prof Dr N Devolder, Prof Dr Karl
d’Ester, Prof Df Kurt Baschwitz, Dr Maarten Scheiner, Dr Theo Luykx, AJ
Lievegood, Dr HJ Prakke, Wilhelm Bauer, Dr Hanstraub, Prof Dr Emil Dovivat, dan
banyak lagi.
Pada International Congress
of University Teacher of the Science of the Press yang diadakan di Amsterdam
Nederland bulan Mei 1933, Prof Dr Walter Hagemann, guru besar dalam publisistik
di Munster dalam pidatonya mengenai ilmu pers antara lain mengatakan sebagai
berikut:
“Di Jerman yang dianggap
sebagai bapak Zeitungwissenschaft, jadi juga dari publizistik sebagai
perkembangan dari Zeitungwissenschaft, adalah Prof Dr Karl Bucher, yang namanya
sudah tidak asing lagi bagi siapa saja yang pernah mempelajari dasar – dasar
ilmu ekonomi. Adalah Prof Bucher yang pertama kali mengajarkan ilmu mengenai
persuratkabaran pada tingkat universitas, yakni di Universitas Bazel dalam
tahun 1884 yang dikuliahkannya ialah sejarah pers, organisasi pers, dan
statistic pers. Kuliah kemudian dilanjutkan di Universitas Leipzig sesudah
tahun 1892. Di sini ilmunya semakin dikembangkan sehingga meliputi:
-
Geschichte des Zeitungswesens
-
Organization und Technik des Modernen
Zeitungswesens
-
Presspolitik (Marbangun:24)
Di atas telah disinggung
bahwa publisistik merupakan perkembangan dari Zeitungwissenschaft. Perkembangan
tersebut disebabkan:
Pertama : Khalayak
membutuhkan ilmu pernyataan umum. Kebutuhan tersebut semakin terasa mendesak
ketika radio dan film tampil ke muka sebagai alat pernyataan publisistik baru.
Kedua : Meskipun memang
Zeitungwissenschaft telah berhasil menjadi suatu ilmu yang disipliner dengan
menggunakan gejala surat kabar sebagai objek penyelidikannya, namun satu hal
yang tak terpang itu – inti daripada segala pernyataan umum yakni fungsi sosial
daripada kata dan makna yang seluas – luasnya. Dan fungsi sosial ini ialah
bahwa alat – alat komunikasi mendukung dan menyatakan segala isi kesadaran
(Bewustseininhalten) yang disampaikan kepada orang – orang lain dengan tujuan
bahwa sikap rohaniah dari dia yang menerima menjadi sama arah dengan dia yang
menyatakannya.
Penyelidikan dan ajaran secara
khusus memperhatikan masalah umum mengenai pengarahan, penghimpunan dan
pemberian pengaruh secara tohaniah, merupakan sebuah ilmu yang disebut
publisistik.
Prof Dr Walter Hageman yang
namanya telah disebut – sebut di muka mendefinisikan publisistik secara singkat
saja, yakni: ajaran tentang pernyataan umum mengenai isi kesadaran yang actual
(die Lehre von der offentichen Aussage aktueller Bewustseinsinhalte).
Publisistik mengajarkan
bahwa setiap pernyataan kepada umum dengan menggunakan media apa pun
menciptakan suatu hubungan rohaniah antara sis publisis dengan khalayak.
Hubungan rohaniah itu merupakan suatu proses yang menurut Prof Dr Walter
Hagemann terdiri dari tiga fase: das Ereignis, der Empfanger, dan die Wirkung
(Marbangun : 60). Penjelasannya sebagai berikut:
a.
Das Ereignis (peristiwanya):
Yang
dimaksud engan das Ereignis adalah prosese kegiatan seorang publisis mulai dari
peliputan suatu peristiwa di masyarakat melalui pengolahan di redaksi sampai
penyebaran kepada khalayak. Dalam hubungan ini, peristiwa sebagai fase pertama
dari proses publisistik itu diklasifikasikan sebagai peritiwa primer dan
peristiwa sekunder atau dengan ungkapan lain : peristiwa lagir dan peristiwa
batin. Peristiwa lahir adalah suatu yang dapat ditangkap oleh indera
penglihatan yang bersifat kausal, mengandung sebab dan akibat. Sebaliknya
peristiwa batin adalah peristiwa yang abstrak psikologis, yang terhubungkan
dengan kognisi, afeksi, dan konasi. Situasi rohaniah ini apabila ini apabila
diwujudkan ke dalam berita, menjadi informasi dan opini di mana interpretasi
berperan penting.
b.
Der Empfanger (penerimanya)
Yang
dimaksud dengan der Empfanger adalah orang – orang atuh khalayak yang dijadikan
sasaran penyebaran informasi dan opini tadi. Berita – berita termasa atau
actual terjadi secara bersinambung, yang secara universal mengenai apa saja,
kapan saja, dan di mana saja, sejauh peristiwa itu berkaitan dengan kepentingan
manusia.
Penawaran
informasi dan opini kepada khalayak jauh melebihi daya kemampuannya untuk dapat
menerima seluruhnya. Isi kesadaran yang baru mendesak isi kesadaran yang lama.
Ini berarti di antara berita – berita yang menerpa khalayak, ada yang diterima,
tetapi ada juga yang dipertanyakan, disanggah, atau ditolak.
Daya
terima publisistik berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain, yang
dipengaruhi bahkan ditentukan oleh berbagai factor, seperti jenis kelamin, usia,
ideology, dan sebagainya.
c.
De Wirkung (daya pengaruhnya)
Sebagai
komponen ketiga dari proses publisistik, die Wirkung menunjukkan sejauh mana
efek yang timbul pada khalayak yang dijadikan sasaran publisistik.
Menurut Hagemann setiap
terpaan publisistik yang menimbulkan sikap tertentu pada der Empfanger yang
kemudian berwujud perilaku, disebabkan terutama oleh perasaannya yang tersentuh
keitmbang oleh perasaannya yang tersentuh ketimbang oleh pikirannya. Sifat
emosional ini memungkinkan khalayak bersikap setuju atau tidak setuju, emnerima
atau menolak. Dalam hubungan ini mereka tidak menyelidiki kebenaran pernyataan
yang menerpanya. Mereka belum menjadi subjek yang bergiat mereka telah
meninggalkan kesadaran rasionalnya. Hal ini terutama berlaku jika suatu
pernyataan publisistik memihak secara terang – terangan, yang mengancam
kepentingan rohaniahnya atau kepentingan materialnya, mengajak khalayak untuk
melakukan sesuatu.
Pengaruh publisistik
berlangsung dalam dua dimensi rangkap, meluas dan mendalam.
Ada pernyataan publisistik
yang tersiar dengan cepat, tetapi pernyataan yang sesaat menggemparkan dapat
dibuat tidak berarti oleh pembuktian. Bisa juga pernyataan itu disusul oleh
pernyataan – pernyataan lain yang membuktikan kebalikannya.
Ada pernyataan yang berdaya
pengaruh ke dalam. Maknanya tidak dikenal oleh khalayak secara keseluruhan.
Hanya sekelompok kecil yang tertarik yang karena kemampuan dan kesungguhannya
dalam melakukan pertimbangan, mereka memahami benar makna pernyataan tersebut,
lalu meneruskannya kepada orang lain yang diperkirakan akan memahami maknanya.
Pernyataan itu tidak
cemerlang, tidak menggelora, dan tidak menimbulkan gerak dinamika massa, tetapi
bergerak maju secara perlahan, luwes, dan halus, sedangkan yang ditimbulkan
adalah kebenaran – kebenaran baru.
Daya pengaruh publisistik
menjadi penting, oleh karena akan mampu memobilisasi opini public kea rah yang
dikehendaki si publisis.
COMMUNICATION
SCIENCE
Jika retorika sebagai ilmu
pertama mengenai pernyataan antarmanusia yang berkembang di Yunani dan Romawi
satu arah menuju ke Jerman menjadi publizistikwissenschaft yang disingkat
publisistik, maka arah lain menuju Amerika Serikat. Di benua ini namnya communication science atau ilmu
komunikasi.
Seperti halnya ilmu
publisistik yang pada mulanya adalah ilmu persuratkabaran, ilmu komunikasi pun
berasal dari aspek persuratkabaran, yakni journalism
atau jurnalisme, suatu pengetahuan (knowledge)
tentang seluk beluk pemberitaan mulai dari peliputan bahan berita, melalui
pengolahan, sampai penyebaran berita.
Yang mula – mula mendambakan
adanya sekolah jurnalistik sebagai lembaga pendidikan untuk meningkatkan
pengetahuan para wartawan dan calon wartawan adalah Joseph Pulitzer pada tahun
1903. Gagasan Pulitzer ini mendapat tanggapan positif dari Charles Eliot dan
Nicholas Murray Butler, masing – masing rektor Harvard University dan Columbia
University. Oleh karena disiarkan media surat kabar itu, ternyata tidak hanya
informasi hasil kegiatan jurnalistik semata – mata maka berkembanglah penyiaran
pernyataan manusia tersebut menjadi “mass media communication” (media
komunikasi massa) yang untuk memudahkannya sering disingkat menjadi komunikasi
massa.
Yang oleh pakar dianggap
“mass media” (media massa) adalah surat kabar, radio, televise, dan film, oleh
karena memiliki ciri – ciri khas yang tidak dimiliki oleh media komunikasi
lainnya seperti poster, pamphlet, surat, telepon, dan sebagainya.
Dalam perkembangan
selanjutnya akibat pengaruh kemajuan teknologi komunikasi, istilah mass communication dianggap tidak tepat
lagi karena ternyata tidak lagi merupakan proses yang total. Penelitian yang
dilakukan oleh Paul Lazarsfeld, Bernard Berelson, Hazel Gaudet, Elihu Katz,
Wilbur Schramm, dan lainnya menunjukkan bahwa fenomena sosial akibat terpaan
media massa hanya merupakan satu tahap saja; ada tahap kedua, ketiga dan tahap
– tahap berikutnya yang meneruskan pesan – pesan dari media massa dari mulut ke
mulut yang justru dampaknya sangat besar. Pengambilan keputusan banyak
dilakukan atas dasar komunikasi antar pribadi secara tatap muka.
Dalam proses komunikasi
secara total, komunikasi melalui media massa hanya merupakan satu dimensi saja;
ada dimensi – dimensi lainnya yang menjadi objek studi suatu ilmu. Dan ilmu
mempelajari dan menelitinya bukan Mass Communication Science, melainkan
Communication Science yang lebih luas yang menelaah mass communication, group
communication, dan lain – lain.
Pada tahun 1960 Carl I
Hovland dalam karyanya “Social Communication” munculah istilah “science of
communication” yang ia definisikan sebagai: suatu upaya yang sistematis untuk
merumuskan dengan cara yang setepat – tepatnya asas – asas pentransmisian
informasi serta pembentukan opini dan sikap.
Pada decade 1960 – an itu
tidak sedikit ilmuan – ilmuan disiplin ilmu lain yang menganggap bahwa
komunikasi itu bukan ilmu dengan alas an komunikasi belum memenuhi persyaratan
sebagai ilmu.
Tetapi pakar komunikasi
tidak mempedulikan kritik pakar disiplin ilmu lain, sebab komunikasi
dianggapnya sudah menjadi ilmu. Yang lebih penting bagi para pakar komunikasi
adalah apakah komunikasi itu mampu memecahkan masalah sosial atau tidak. Pada
tahun 1967 terbit buku berjudul “The Communicative Arts of Science of Speech”
yang ditulis oleh Keith Brooks, yang menampilkan paparannya mengenai komunikologi
secara luas. Mengenai komunikologi (ilmu komunikasi) Brooks menyatakan sebagai
berikut:
Pada tahun terakhir ini
banyak cendikiawan komunikasi dari berbagai disiplin ilmu yang
mengkontribusikan kepada pemahaman kita landasan proses serta tipe – tipe dan
bentuk – bentuk aktivitas komunikasi. Komunikologi berkaitan dengan integrasi
asas – asas komunikasi dari para cendikiawan itu. Juga komunikologi berarti
filsafat komunikasi yang realistis, program penelitian yang sistematis yang
menguji teori – teorinya, menutupi kesenjangan – kesenjangan dalam pengetahuan,
menafsirkan dan mengabsahkan penemuannya ke dalam disiplin dan penelitian yang
khusus. Ia menyajikan program yang luas yang meliputi tetapi tidak membatasi dirinya
kepentingan – kepentingan atau teknik – teknik setiap disiplin ilmu.
Dalam pada itu Joseph A
Devito juga seperti halnya Keith Brooks mengetengahkan istilah komunikologi
untuk ilmu komunikasi itu. Dalam bukunya “Communicology: An Introduction to the
Study of Communication” ia menjelaskan pengertian komunikologi sebagai berikut:
Komunikologi adalah suatu
studi tentang ilmu komunikasi, secara khusus subseksinya berkaitan dengan
komunikasi oleh dan diantara manusia – manusia. Komunikolog mengacu kepada mahasiswa
– peneliti – teoritikus, atau untuk lebih ringkasnya, cendikiawan komunikasi.
Anggapan bahwasannya
komunikasi itu sudah menjadi ilmu terbukti dengan terbitnya buku berjudul
“Message Effect in Communication Science” pada tahun 1989 dengan James J Bradac
sebagai editor.
Dalam buku tersebut sebelas
pakar komunikasi dari berbagai universitas kenamaan di Amerika Serikat
memberikan kontribusinya mengenai aspek pesan dan efek dari proses komunikasi.
Uraian di atas menunjukkan
kepada para peminat komunikasi bahwa komunikasi itu tanpa harus diragukan lagi
adalah memang ilmu, dan mereka yang bukan orang komunikasi tidak perlu
mempertanyakannya lagi.
Komentar
Posting Komentar