Pers dalam Dua Sisi: Idealisme Vs Komersialisme
Pers dalam Dua Sisi: Idealisme Vs Komersialisme
Oleh : Astri Dwi Andriani
Sejak keberadaan pers pertama di
Indonesia pada tahun 1744, perkembangan pers mengalami pasang surut. Pers
Nasional memasuki masa bulan madu saat masa kemerdekaan Indonesia pada tahun
1945 dan mengalami masa kegelapan pada tahun 1959 karena adanya Dekrit Presiden
1 Juli 1959 yang mempersempit ruang gerak wartawan dan mewajibkan pers nasional
berafiliasi dengan partai politik (AS Sumandiria, 2006:21).
Lika-liku
perkembangan pers nasional belum berakhir, pers kembali mengalami masa surut
pada era Orde Baru karena pada masa itu pers yang menyentuh wilayah kekuasaan
sama sekali tak dibenarkan dan bisa berakhir dengan pembredelan.
Pengamat pers Atmakusumah (dalam Sumandiria, 2006:23) lebih jauh
menulis, sepanjang 1980, fungsi pers masih mengalami penciutan. Fungsi utama
pers sebagai komunikator informasi telah mengalami kemunduran sehingga yang
lebih menonjol adalah fungsinya sebagai sarana hiburan. Perjalanan pers
nasional akhirnya mengalami masa gemilang pada orde reformasi setelah rezim
Orde Baru tumbang.
AS
Sumandiria dalam bukunya yang berjudul Jurnalistik
Indonesia menyebutkan, pada masa itu, secara yuridis UU Pokok Pers No.
21/1982 pun diganti dengan UU Pokok Pers No. 40/1999. Dengan undang-undang dan
pemerintahan baru, siapa pun bisa menerbitkan dan mengelola pers.
Kewenangan yang dimiliki pers nasional itu
sendiri sangat besar. Menurut pasal 6 UU Pokok Pers No. 40/1999, pers nasional
melaksanakan peranan: (a) memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui, (b)
menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supresmasi hukum
dan hak asasi manusia serta menghormati kebhinekaan, (c) mengembangkan pendapat
umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat, dan benar, (d) melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum, dan (e) memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Semenjak saat itu, layaknya jamur di musim hujan, pers Indonesia berkembang
pesat hingga saat ini. Sebagai penyambung lidah (penyampai pesan) seorang
jurnalis (wartawan) maupun lembaga pers harus memiliki idealisme. Idealisme
sendiri adalah cita-cita, obsesi, sesuatu yang terus dikejar untuk bisa
dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma
profesi yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara (AS Sumandiria,
2006:46).
Untuk bisa memenuhi tuntutan
amanah pasa 6 UU Pokok Pers No. 40/1999, pers harus bersikap ‘galak dan tegas’
dalam menjalankan fungsinya sebagai komunikator informasi publik, menegakkan
nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supresmasi hukum dan hak
asasi manusia. Lebih dari itu, pers juga dituntut untuk dapat melakukan
pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan
kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
Meski begitu, pers tidak cukup hanya
mempunyai idealisme. Sebagai lembaga ekonomi pers harus dijalankan dengan
merujuk pada pendekatan dan kaidah ekonomi, efisiensi, dan produktivitas.
Secara manajerial, perusahaan pers harus memetik keuntungan dan sejauh mungkin
menghindari kerugian. Dalam kerangka ini, apa pun sajian pers tak bisa
dilepaskan dari muatan nilai bisnis komersial sesuai dengan pertimbangan dan tuntutan
pasar. Dengan berpijak pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers bisa secara
konsisten mencapai cita-cita yang ideal (Shoelhi, 2009:112).
Hal itu dipertegas oleh pasal 3 ayat (2) UU
Pokok Pers No. 40/ 1999, yang menyatakan pers nasional dapat berfungsi sebagai
lembaga ekonomi (Sumandiria, 2006:47). Hal tersebut menjelaskan bahwa pers
merupakan lembaga ekonomi. Sesuai dengan prinsip ekonomi pers harus mendapatkan
keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran sekecil-kecilnya.
Tidak
seperti pada saat masa kemerdekaan, pers dijadikan sebagai media perjuangan,
dengan kemajuan teknologi dan informasi pers mampu berkembang dengan pesat
sebagai lembaga bisnis dan mengalami persaingan yang ketat demi memiliki ruang
di tengah masyarakat.
Di
tengah ketatnya persaingan, pers harus mampu menjadi media massa yang memiliki
kemasan yang baik agar menarik untuk dibeli dan memenuhi kebutuhan masyarakat
tanpa harus melunturkan nilai-nilai idealisme jurnalisitik.
Sebenarnya
antara idealisme dan komersialisme sangat bertolak belakangan. Namun demi
tercapainya cita-cita kedua hal tersebut harus bersinergi. Lebih serius
menanggapi hal tersebut, Mohammad Shoelhi mengemukakan idealisme tanpa
komersialisme hanyalah sebuah ilusi. Karena jika pers mengutamakan segi idealisme
saja, pers tidak akan hidup lama. Sedangkan jika perusahaan pers hanya
mengutamakan segi komersialisme, pers hanya akan menjadi budak bagi
pembayarnya.
Sumandiria melanjutkan, ibarat sebuah
bangunan, pers hanya akan bisa berdiri kokoh apabila tertumpu pada tiga pilar
penyangga utama yang satu sama lain saling menopang, tritunggal. Ketiga pilar
tersebut ialah idealisme, komersialisme, dan profesionalisme.
Jadi, profesionalisme dalam pers dapat
menjembatani dua sisi mata uang dunia jurnalistik, yakni idealisme dan
komersialisme.
Menurut Alex Sobur dalam Etika Pers: Profesionalisme dengan Nurani
(dalam Shoelhi, 2009:112) ada lima hal yang menjadi stuktur sikap yang
diperlukan bagi setiap jenis profesi yang tercakup dalam profesionalisme.
Yang pertama adalah profesional dalam
menggunakan organisasi atau kelompok professional sebagai kelompok referensi
utama. Tujuan-tujuan dan aspirasi professional bukan diperuntukkan bagi seorang
majikan atau status lokal dari masyarakat setempat; kesetiaannya adalah pada
bidang tugas.
Yang kedua adalah professional dalam
melayani masyarakat dengan baik. Ia alturuistik yang mengutamakan kepentingan
umum.
Yang ketiga adalah professional dalam
mengemban kepedulian dan rasa terpanggil dalam bidang tugasnya. Komitmen ini
memperteguh tanggung jawabnya dalam melayani masyarakat. Ia melaksanakan
profesinya karena merasakan komitmen yang mendalam.
Yang keempat yakni professional dalam
memelihara rasa otonomi. Oa bebas mengorganisasikan pekerjaannya saat berada
dalam kendala-kendala terntentu dan mengambil keputusan-keputusan professional.
Dan yang terakhir adalah professional dalam mengatur
dirinya sendiri dan mengontrol perilakunya sendiri. Dalam menghadapi kerumitan
dan persyaratan keterampilan, hanya rekan-rekan seprofesinya yang mempunyai hak
dan wewenang untuk melakukan penilaian. Semoga bermanfaat. (penulis adalah mahasiswi Ilmu Komunikasi,
Program Pascasarjana Universitas Islam Bandung)
Komentar
Posting Komentar