RETORIKA
Pada abad ke lima Sebelum
Masehi untuk pertama kali dikenal suatu ilmu yang mengkaji proses pernyataan
antarmanusia sebagai fenomena sosial tadi. Ilmu ini dinamakan dalam bahasa
Yunani “rhetorike” yang dikembangkan di Yunani Purba, yang kemudian pada abad –
abad berikutnya dimekarkan di Romawi dengan nama dalam bahasa Latin “rhetorika”
(dalam bahasa Inggris “rhetoric” dan dalam bahasa Indonesia “retorika”).
Di Yunani, negara asal yang
mengembangkan retorika dipelopori oleh Georgias (480 – 370) yang dianggap
sebagai guru retorika pertama dalam sejarah manusia yang mempelajari dan
menelaah proses pernyataan antar manusia.
Dimulainya perngembangan
retorika sebagai seni bicara di Yunani itu, adalah ketika kaum sofis di saat
mengembara dari tempat satu ke tempat lain, mengajarkan pengetahuan mengenai
politik dan pemerintahan. Kaum sofis menyatakan bahwa pemerintah harus
berdasarkan suara rakyat terbanyak atau demokrasi yang berarti pemerintahan
rakyat. Untuk itu diperlukan pemilihan. Maka berkembanglah seni pidato, yang
demi tercapainya tujuan kadang membenarkan pemutarbalikan kenyataan, yang
penting khalayak tertarik perhatiannya dan terbujuk.
Filsafat sofisme yang
dicerminkan oleh Georgia situ berlawanan dengan pendapat Protagoras (500 – 432)
dan Socrates (469 – 399). Protagoras mengatakan bahwa kemahiran berbicara bukan
demi kemenangan, melainkan demi keindahan bahasa. Sedangkan bagi Socrates,
retorika adalah demi kebenaran dengan
dialog sebagai tekniknya, karena dengan dialog, kebenaran akan timbul
dengan sendirinya.
Para pakar retorika lainnya
adalah Isocrates dan Plato yang keduanya dipengaruhi oleh Georgias dan
Socrates. Mereka ini berpendapat bahwa retorika berperan penting bagi persiapan
seseorang untuk menjadi pemimpin. Plato yang murid utama Socrates menyatakan
bahwa pentingnya retorika adalah sebagai metode pendidikan dalam rangkai
mencapai kedudukan dalam pemerintahan dan dalam rangka mempengaruhi rakyat.
Puncak peranan retorika
sebagai ilmu pernyataan antar manusia ditandai oleh munculnya Demosthenes dan
Aristoteles. Demosthenes (384 – 322) di zaman Yunani itu termasyur karena
kegigihan mempertahankan kemerdekaan Athena dari ancaman raja Philipus dari
Macedonia. Pada waktu itu telah menjadi anggapan umum bahwa di mana terdapat
sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat, di situ harus ada pemilihan
berkala dari rakyat dan oleh rakyat untuk memilih pemimpinnya. Di mana
demokrasi menjadi sistem pemerintahan, di situ masyarakat memerlukan orang –
orang yang mahir berbicara di depan umum.
Di Yunani, retorika dikembangkan oleh Marcus Tulius Cicero (106 –
43) yang menjadi termasyur karena bukunya berjudul “de Oratore” dan
penampilannya sebagai orator. Gaya retorika ala
Cicero sendiri sebagai berikut:
a.
Investio
Investio berarti mencari bahan dan tema yang akan dibahas. Bahan
yang telah diperoleh disertai bukti – bukti pada tahap ini dibahas secara
singkat dengan menjurus pada upaya – upaya :
1)
Mendidik
2)
Membangkitkan kepercayaan
3)
Menggerakan persaan
b.
Ordo Collacatio
Ordo collacatio berarti penyusunan pidato. Di sini sang orator
dituntut kecakapan mengolah kata – kata mengenai aspek – aspek tertentu
berdasarkan pilihan mana yang terpenting, penting, kurang penting, dan tidak
penting. Dalam hubungan ini susunan pidato secara sistematis terbagi menjadi :
1)
Exordium (pendahuluan)
2)
Narratio (pemaparan)
3)
Conformatio (peneguhan)
4)
Reputatio (pertimbangan)
5)
Perotatio (penutup)
Dalam berbagai literatur tentang komunikasi Islam kita dapat
menemukan setidaknya enam jenis retorika atau gaya bicara atau pembicaraan (qaulan) yang dikategorikan sebagai
kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yakni (1) Qaulan Sadida, (2)
Qaulan Baligha, (3) Qulan Ma’rufa, (4) Qaulan Karima, (5) Qaulan Layinan, dan
(6) Qaulan Maysura.
1. Qaulan Sadida
Qaulan Sadidan berarti pembicaran, ucapan, atau perkataan yang
benar, baik dari segi substansi (materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata
bahasa). Dari segi substansi, komunikasi Islam harus menginformasikan atau
menyampaikan kebenaran, faktual, hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong,
juga tidak merekayasa atau memanipulasi fakta. Pernyataan tersebut sesuai
dengan QS. 4:9 dan QS. Al-Hajj:30.
2. Qaulan Baligha
Kata baligh berarti tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya.
Qaulan Baligha artinya menggunakan kata-kata yang efektif, tepat sasaran,
komunikatif, mudah dimengerti, langsung ke pokok masalah (straight to the
point), dan tidak berbelit-belit atau bertele-tele. Agar komunikasi tepat
sasaran, gaya bicara dan pesan yang disampaikan hendaklah disesuaikan dengan
kadar intelektualitas komunikan dan menggunakan bahasa yang dimengerti oleh
mereka. Hal ini sesuai dengan QS An-Nissa :63 dan QS.Ibrahim:4.
3. Qaulan Ma’rufa
Kata Qaulan Ma`rufan disebutkan Allah dalam QS An-Nissa : 5 dan 8,
QS. Al-Baqarah : 235 dan 263, serta Al-Ahzab : 32. Qaulan Ma’rufa artinya
perkataan yang baik, ungkapan yang pantas, santun, menggunakan sindiran (tidak
kasar), dan tidak menyakitkan atau menyinggung perasaan. Qaulan Ma’rufa juga
bermakna pembicaraan yang bermanfaat dan menimbulkan kebaikan (maslahat).
4. Qaulan Karima
Qaulan Karima adalah perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa
hormat dan mengagungkan, enak didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. Dalam
ayat tersebut perkataan yang mulia wajib dilakukan saat berbicara dengan kedua
orangtua. Kita dilarang membentak mereka atau mengucapkan kata-kata yang
sekiranya menyakiti hati mereka. Qaulan Karima harus digunakan khususnya
saat berkomunikasi dengan kedua orangtua atau orang yang harus kita
hormati. Dalam konteks jurnalistik dan penyiaran, Qaulan Karima bermakna
mengunakan kata-kata yang santun, tidak kasar, tidak vulgar, dan menghindari
“bad taste”, seperti jijik, muak, ngeri, dan sadis. Hal ini sesuai dengan QS. Al-Isra : 23.
5. Qaulan Layina
Qaulan Layina berarti pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara
yang enak didengar, dan penuh keramahan, sehingga dapat menyentuh hati. Dalam
Tafsir Ibnu Katsir disebutkan, yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran,
bukan dengan kata kata terus terang atau lugas, apalagi kasar. Ayat di
atas adalah perintah Allah SWT kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara
lemah-lembut, tidak kasar, kepada Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan
(orang yang diajak berkomunikasi) akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak
untuk menerima pesan komunikasi kita.
Dengan demikian, dalam komunikasi Islam, semaksimal mungkin
dihindari kata-kata kasar dan suara (intonasi) yang bernada keras dan tinggi.
Hal ini sesuai dengan QS. Thaha: 44.
6. Qaulan Maysura
Komunikasi merupakan terjemahan kata communication yang
berarti perhubungan atau perkabaran. Communicate berarti
memberitahukan atau berhubungan. Secara etimologis, komunikasi berasal dari
bahasa latin communicatio dengan kata dasarcommunis yang
berarti sama. Secara terminologis, komunikasi diartikan
sebagai pemberitahuan sesuatu (pesan) dari satu pihak
ke pihak lain dengan menggunakan suatu media. Sebagai makhluk sosial,
manusia sering berkomunikasi satu sama lain. Namun, komunikasi bukan hanya
dilakukan oleh manusia saja, tetapi juga dilakukan oleh makhluk-makhluk yang
lainnya. Semut dan lebah dikenal mampu berkomunikasi dengan baik. Bahkan
tumbuh-tumbuhanpun sepertinya mampu berkomunikasi. (QS. Al-Isra: 28).
Qaulan Maysura bermakna ucapan yang mudah, yakni mudah dicerna,
mudah dimengerti, dan dipahami oleh komunikan. Makna lainnya adalah kata-kata
yang menyenangkan atau berisi hal-hal yang menggembirakan. Komunikasi dilakukan
oleh pihak yang memberitahukan (komunikator) kepada pihak penerima (komunikan).
Komunikasi efektif tejadi apabila sesuatu (pesan) yang
diberitahukan komunikator dapat diterima dengan baik atau sama oleh komunikan,
sehingga tidak terjadi salah persepsi.
Komentar
Posting Komentar