Seni Merayu Massa
Seni
Merayu Massa
Oleh:
Astri Dwi Andriani S IKom
Alumni
Fakultas Ilmu Komunikasi Unpi Cianjur
pic by google |
Kehidupan
manusia tidak lepas dari kehidupan politik. Setiap hari, setiap jam, setiap
menit bahkan setiap detik sekalipun, politik hadir “bermain-main” di tengah-tengah
kehidupan dan tingkah laku manusia. Mengapa demikian? Karena politik merupakan
pelayanan terhadap urusan rakyat. Seperti urusan sosial, pemerintahan, ekonomi,
pendidikan, sanksi hukum dan lain-lain.(An-Nabhani dalam Danial, 2006)
Fenomena
ini berawal sejak gigihnya kaum sofis Yunani berkelana dan mengajarkan
demokrasi dan pemerintahan. Di mana demokrasi menjadi sistem pemerintahan, di
situ masyarakat memerlukan orang-orang yang mahir berbicara yang menjadi seni
merayu massa atau yang kini lebih dikenal dengan istilah retorika.
Retorika
sendiri berasal dari bahasa Yunani yakni ‘rhetorike’ yang kemudian diadopsi
oleh bahasa Romawi menjadi ‘retorika’ yang berarti ilmu pernyataan antar
manusia. Dalam bahasa Inggris sendiri dikenal sebagai ‘rhetoric’ yang kemudian
dikenal di Indonesia menjadi istilah ‘retorika’.(Effendy, 2003)
Pada
masa Georgias (480 – 370 SM), guru retorika Yunani, retorika dikenal sebagai
upaya manusia untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Tidak peduli benar atau
salah, yang penting khalayak tertarik perhatiannya dan terbujuk pada apa yang diinginkan
komunikator. Malah terkadang pemutarbalikan fakta menjadi sesuatu yang
dibenarkan.
Anggapan
ini bergeser pada masa Plato (384 – 322 SM). Plato beranggapan bahwa retorika
merupakan metode pendidikan untuk mencapai kedudukan dalam pemerintahan dan
dalam rangka upaya mempengaruhi rakyat. Hal ini diamini oleh Isocrates yang
berpendapat bahwa retorika berperan penting bagi persiapan seseorang untuk
menjadi pemimpin.
Dewasa
ini ilmu retorika sangat banyak di manfaatkan di berbagai sisi kehidupan. Tidak
hanya di dunia komunikasi, tetapi lebih luas lagi merambah ke bidang ekonomi,
bisnis, politik, hingga keagamaan. Kemampuan seseorang dalam mengemukakan
pemikirannya, akan menentukan apakah tujuan orang tersebut akan tercapai atau
tidak.
Di
dunia politik dan pemerintahan, pidato merupakan salah satu cabang kegiatan
retorika yang cukup berperan. Untuk menjadi orator yang baik tentunya
dibutuhkan latihan dan persiapan yang matang. Marcus Tulius Cicero (106-43 SM),
ahli retorika asal Romawi membagi tahapan persiapan retorika menjadi dua
bagian, yakni investio dan ordo collocation.
Investio sendiri
berarti mencari bahan dan tema yang akan di bahas. Bahan yang akan dibahas
sebaiknya bersangkutan dengan pendidikan, yang dapat membangkitkan kepercayaan,
maupun yang menggerakan kepercayaan.
Tahap
selanjutnya yang harus ditempuh adalah ordo
collocation atau tahap penyusunan pidato. Di sini sang orator dituntut
kecakapan dalam mengolah kata-kata mengenai aspek tertentu berdasarkan pilihan
mana yang terpenting, penting, kurang penting, dan tidak penting.
Seperti
naskah pidato yang kini kita kenal, menurut Cicero dalam tubuh naskah pidato
sebaiknya diawali oleh exordium
(pendahuluan), naratio (pemaparan), conformation (peneguhan), reputation (pertimbangan), dan peroratio (penutup).
Dalam membuat teks pidato, sang penulis tentunya harus
memiliki pemahaman yang utuh mengenai hal yang akan di bahas. Kita dapat
memulai pembicaraan dengan hal ringan yang ada di sekitar. Hal ini dapat
ditumpahkan melalui gaya kalimat deduktif (dari hal umum ke hal khusus) maupun
secara induktif (dari hal khusus ke umum).
Penggunaan
humor dalam pidato akan membuat suasan menjadi segar dan menarik untuk
diperhatikan. Selain itu, yang tidak kalah pentingnya adalah bahasa yang
digunakan merupakan bahasa komunikatif. Yakni bahasa yang dapat dimengerti oleh
seluruh audience, dari tingkat
intelektual tinggi hingga terendah.
Untuk
memecahkan hal ini Wilbur Scramm memiliki satu tips yang kini banyak dipelajari
mahasiswa ilmu komunikasi. Yakni teori frame
of reference (kerangka berfikir) dan field
of experience (bidang pengalaman). Artinya apa yang orator bicarakan harus
sesuai dengan kerangka berfikir dan pengalaman audience-nya. Seseorang biasanya akan tertarik pada suatu hal yang
dekat dengan dirinya.
Adapun
pada saat pelaksaan pidato. Kepercayaan diri sangat penting dimiliki oleh
seorang orator. Karena kepercayaan diri akan terpancar pada sikap pada saat
kita berbicara. Hal ini tentu saja akan mempengaruhi kepercayaan dan keyakinan
pemirsa kepada kita.
Eye contact
atau kontak mata dapat menjadi tips yang baik. Karena menyapu pandangan kita
kepada penonton, akan menonton merasa diperhatikan. Sehingga mereka akan
kembali memperhatikan kita dengan seksama. Latihan yang berurang di depan
cermin, dapat menjadi tips jitu untuk mendapatkan kepercayaan diri. Semoga
bermanfaat.(*)
Komentar
Posting Komentar