Dua Sisi Mata Uang Pers: Idealisme dan Komersialisme


         Seperti dijelaskan sebelumnya, pers saat ini – dan di mana pun pers berada – selalu dihadapkan pada dua sisi mata uang yakni idealisme dan komersialisme. Lebih lanjut, penulis akan mencoba menjabarkan tiga pilar penyangga pers berdasarkan teori AS Sumandiria, yakni idealisme, komersialisme, dan profesionalisme.
Idealisme
Untuk bisa memenuhi tuntutan amanah pasa 6 UU Pokok Pers No. 40/1999, pers harus bersikap ‘galak dan tegas’ dalam menjalankan fungsinya sebagai komunikator informasi publik, menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supresmasi hukum dan hak asasi manusia. Lebih dari itu, pers juga dituntut untuk dapat melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum, serta memperjuangkan keadilan dan kebenaran.
  Dalam menjalankan amanah tersebut bukan tanpa hambatan, saat di lapangan, wartawan sering dihadapkan pada godaan berupa tawaran pemberian sejumlah uang agar ‘tutup mulut’ menyebarkan informasi negatif oknum tertentu melalui media massa. Di lapangan sendiri tidak sedikit wartawan yang menggadaikan ideliasmenya demi memanfaatkan hal tersebut, karena tergiur oleh tawaran materi yang diberikan. Wartawan tersebut, menurut Zaenudin HM dalam bukunya yang berjudul The Journalist termasuk wartawan amplop.
       Wartawan amplop adalah julukan negatif bagi wartawan yang melanggar Kode Etik Jurnalistik, yakni yang menerima uang dari sumber berita, baik karena diberi maupun meminta dari para sumber berita. Lebih jelasnya, para wartawan yang menerima pemberian berupa hadiah atau uang, baik karena diberi atau pun meminta, yang berakibat tidak bebasnya menjalankan profesinya secara jujur dan objektif, dengan menuliskan pemberitaan yang lebih bersifat iklan terselubung, atau setidaknya menguntungkan si pemberi imbalan. Narasumber yang diberi uang berharap yang akan diberitakan adalah sisi baiknya saja (Zaenudin, 2011:62-63).
  Lebih dari itu, lanjut Zaenudin bercerita dalam bukunya, banyak wartawan palsu yang tak bertanggungjawab – yang hanya karena sering bergaul dengan wartawan – mengaku-ngaku sebagai wartawan, padahal oknum tersebut tidak bekerja pada media massa. Mereka hanya berpura-pura sebagai wartawan untuk mencari uang yang biasa dikeluarkan pihak pengundang atau sumber berita (Zaenudin, 2011: 65).
Untuk wartawan palsu jenis ini banyak sekali julukan yang melekat pada diri mereka, diantaranya WTS alias Wartawan Tanpa Surat kabar. Julukan tersebut merupakan pelesetan dari sebutan WTS yang telah dikenal umum sebelumnya yakni Wanita Trans Seksual atau lazim disebut banci.
     Selain itu, ada juga yang menjuluki oknum wartawan sebagai ‘Muntaber’ alias muncul tanpa berita. Karena mereka memang tidak memiliki media massa untuk mempublikasikan beritanya. Lebih jahat, di Kabupaten Cianjur sering terdengar kabar, para wartawan palsu ini aktif memasuki dinas-dinas maupun lembaga pemerintahan lainnya untuk mengorek sebuah kasus negatif lembaga tersebut dan memeras oknum yang ada di dalamnya. Tidak hanya memeras pada oknum yang melakukan tindakan negatif, wartawan palsu ini juga sering datang ke berbagai instansi untuk meminta uang tanpa alasan yang jelas. Tentu saja, hal ini mencoreng nama baik profesi wartawan. Hal itu juga didukung dengan kebiasaan sejumlah oknum narasumber yang sering memberikan amplop pada siapa pun wartawannya. Seolah pemberian amplop tersebut telah menjadi tradisi dan rahasia umum.
       Namun begitu, masih banyak juga wartawan yang memiliki idealisme dan tetap bertahan memberitakan informasi secara ideal dan berimbang demi kepentingan publik dan mematuhi UU Pokok Pers. Jika menghadapi kondisi tersebut (diberi uang oleh sumber berita), banyak wartawan idealis yang menolak amplop dan mengarahkan narasumber untuk pergi ke kantor dan mengalokasikan dana tersebut untuk kepentingan langganan demi mendongkrak oplah perusahaan maupun iklan. Hal tersebut, umumnya dianggap lebih mulia daripada menerima amplop.
Menurut AS Sumandiria, Idealisme sendiri adalah cita-cita, obsesi, sesuatu yang terus dikejar untuk bisa dijangkau dengan segala daya dan cara yang dibenarkan menurut etika dan norma profesi yang berlaku serta diakui oleh masyarakat dan negara (AS Sumandiria, 2006:46).
  Jadi idealnya, seorang jurnalis harus berjuang mempertahankan idealismenya dengan berbagai cara dalam menggapai cita-cita yang tertuang dalam UU Pokok Pers.
Komersialisme
  Pers tidak cukup hanya mempunyai idealisme. Sebagai lembaga ekonomi pers harus dijalankan dengan merujuk pada pendekatan dan kaidah ekonomi, efisiensi, dan produktivitas. Secara manajerial, perusahaan pers harus memetik keuntungan dan sejauh mungkin menghindari kerugian. Dalam kerangka ini, apa pun sajian pers tak bisa dilepaskan dari muatan nilai bisnis komersial sesuai dengan pertimbangan dan tuntutan pasar. Dengan berpijak pada nilai-nilai komersial, penerbitan pers bisa secara konsisten mencapai cita-cita yang ideal (Shoelhi, 2009:112).
  Hal itu dipertegas oleh pasal 3 ayat (2) UU Pokok Pers No. 40/ 1999, yang menyatakan pers nasional dapat berfungsi sebagai lembaga ekonomi (Sumandiria, 2006:47). Hal tersebut menjelaskan bahwa pers merupakan lembaga ekonomi. Sesuai dengan prinsip ekonomi pers harus mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengeluaran sekecil-kecilnya.
         Pada pelaksanaannya di lapangan, kegiatan yang dilaksanakan media massa (pers) dalam rangka menghasilkan keuntungan bagi sebuah perusahaan diantaranya melaksanakan kegiatan pemasaran untuk menjual produk jurnalistik berupa eksemplar koran kepada tangan pembaca yang merupakan konsumen utama surat kabar. Selain itu juga bekerjasama dengan berbagai perusahaan yang mempercayai surat kabar tersebut sehingga mau mempromosikan produknya melalui iklan di surat kabar itu dengan kontrak dan biaya tertentu.
   Berbagai kegiatan massal seperti jalan sehat, peringatan hari besar, maupun berbagai perlombaan juga dilaksanakan untuk mendapatkan keuntungan bagi perusahaan pers. Selain itu, keuntungan juga bisa didapatkan dengan cara memilih pangsa pasar dan menyediakan rubrik tetap yang diinginkan pasar.
  Sebenarnya antara idealisme dan komersialisme sangat bertolak belakangan. Namun demi tercapainya cita-cita kedua hal tersebut harus bersinergi. Lebih serius menanggapi hal tersebut, Drs. Mohammad Shoelhi, M.B.A, M.M., dalam bukunya yang berjudul Komunikasi Internasional, Perspektif Jurnalistik mengemukakan idealisme tanpa komersialisme hanyalah sebuah ilusi. Karena jika pers mengutamakan segi idealisme saja, pers tidak akan hidup lama. Sedangkan jika perusahaan pers hanya mengutamakan segi komersialisme, pers hanya akan menjadi budak bagi pembayarnya.
  Kedua hal tersebut bisa bersatu dengan dibantu oleh topangan profesionalisme.

Profesionalisme
   Menurut Alex Sobur dalam Etika Pers: Profesionalisme dengan Nurani (dalam Shoelhi, 2009:112) ada lima hal yang menjadi stuktur sikap yang diperlukan bagi setiap jenis profesi yang tercakup dalam profesionalisme. Hal tersebut diantaranya adalah:
1.    Profesional dalam menggunakan organisasi atau kelompok professional sebagai kelompok referensi utama. Tujuan-tujuan dan aspirasi professional bukan diperuntukkan bagi seorang majikan atau status lokal dari masyarakat setempat; kesetiaannya adalah pada bidang tugas.
2.    Professional dalam melayani masyarakat dengan baik. Ia alturuistik yang mengutamakan kepentingan umum.
3.    Professional dalam mengemban kepedulian dan rasa terpanggil dalam bidang tugasnya. Komitmen ini memperteguh tanggung jawabnya dalam melayani masyarakat. Ia melaksanakan profesinya karena merasakan komitmen yang mendalam.
4.    Professional dalam memelihara rasa otonomi. Oa bebas mengorganisasikan pekerjaannya saat berada dalam kendala-kendala terntentu dan mengambil keputusan-keputusan professional.

5.    Professional dalam mengatur dirinya sendiri dan mengontrol perilakunya sendiri. Dalam menghadapi kerumitan dan persyaratan keterampilan, hanya rekan-rekan seprofesinya yang mempunyai hak dan wewenang untuk melakukan penilaian. 

Komentar

Postingan Populer