Filsafat, Ilmu, dan Islam
Pepatah
lama yang kerap kita dengar mengatakan bahwa “carilah ilmu selama hayat masih di kandung badan.” Nasehat itu
mengisyaratkan bahwa sebagai manusia kita harus menjadi pribadi – pribadi yang
lebih baik setiap harinya, salah satu cara mencapainya adalah dengan cara
belajar. Hal ini tentunya sesuai dengan anjuran Nabi Muhammad SAW yang berpesan
bahwa “hari ini harus lebih baik daripada
kemarin, dan esok harus lebih baik daripada hari ini.”
Belajar
tentunya dapat dilakukan di mana saja, bisa di sekolah, di tempat kursus, di
forum diskusi, hingga di warung kopi. Jika kita mampu memetik hikmah (pelajaran
yang bermanfaat) dari setiap aktivitas yang kita lakukan, maka disitulah ada
proses belajar.
Di tataran
formal, seperti lembaga pendidikan, ilmu pengetahuan menjadi salah satu materi
inti yang diajarkan dalam proses belajar. Sejak bangku Sekolah Dasar (SD)
hingga perguruan tinggi, kita aktif dikenalkan dengan berbagai ilmu pengetahuan
yang dikembangkan oleh dunia Barat. Sehingga saat ini kita dengan bangga
mengenal sosok Charles Darwin, Enstain, Alexander Grahambell, Aristoteles, dan
Pitagoras dibandingkan Al – Ghazali, Al – Kindi, Ibn Taimiyyah, maupun Ibn Sina
ilmuan muslim yang telah banyak menyumbangkan pemikiran dan karyanya untuk
dunia ilmu pengetahuan.
Al Kindi,
misalnya, dikenal bukan saja sebagai filosof, melainkan juga ilmuan yang
menggunakan metode observasi (pengamatan) di laboratorium kimia dan fisikanya,
sementara Nashir Al – Din Thusi mengadakan pengamatan astronomi di
observatoriumnya yang amat terkenal di Maraghah.
Demikian
juga metode observasi yang dilakukan oleh Ibn Haitsam dalam eksperimennya di
bidang optic mengenai cahaya dan teori penglihatan atau vision yang brilian, yang hasilnya ia abadikan dalam karya
besarnya, Al – Manazhir. Kitab yang
ditulisnya dalam tujuh jilid, merupakan karya optic monumental yang pengaruhnya
dapat dilihat dari karya – karya fisikawan dan astronom Barat, seperti Rogen Bacon,
Vitello dan Kepler. Karya ini membahas tentang teori penglihatan dan yang
berkaitan dengan itu, seperti pelangi, refraksi, dan refleksi.
Demikian
juga ahli kedokteran, filosof, dan ilmuan Islam yang terkenal Ibn Sina,
dilaporkan telah melakukan observasi yang seksama terhadap ratusan jenis
tumbuhan dan bermacam – macam hewan, dilihat dari manfaat medis maupun
kandungan nutritifnya. Hasil – hasil observasi itu dia tuliskan dalam kitab
kedokteran yang terkenal, Al – Qanun fi Al – Thibb. Juga dilaporkan bahwa Ibn
Sina telah membuat banyak penelitian sendiri termasuk tentang meningitis, cara
tersebarnya epidemic, dan sifat menular tuberkolosis.
Selain
itu, ilmuan – ilmuan Muslim seperti Ibn Hazm dan Ibn Taimiyyah, telah dikenal
sebagai perintis metode ilmiah modern, terutama metode induksi, sebagai
pelengkap bagi metode deduksi yang umumnya dipakai oleh para pemikir Yunani.
Dibanding
ilmu pengetahuan yang tengah dikembangkan di Barat, sebetulnya ilmu pengetahuan
Islam memiliki kelebihan tersendiri. Karena kajian ilmu pengetahuan yang
dikembangkan di Barat telah dibatasi hanya pada bidang – bidang ilmu fisik (hal
yang tampak, bisa dirasakan oleh pancara indera) atau empiris (hal yang bisa
diamati dan dialami langsung). Sedangkan dalam teori ilmu pengetahuan Islam
dipelajari ilmu fisik – empirik, maupun nonfisik (yang tidak tampak mata) atau
metafisis.
Pada
umumnya, menurut pandangan Barat hal yang dapat diketahui (ilmu pengetahuan)
adalah segala sesuatu sejauh ia dapat di observasi (diamati) secara indrawi (dirasakan
oleh panca indera, misalnya objek ilmu pengetahuan bisa diraba, dikecap,
dilihat, didengar, dan dicium). Hal – hal yang bersifat non inderawi tidak
termasuk ke dalam objek yang dapat diketahui secara ilmiah, misalnya adanya ilmu gaib dan lain sebagainya.
Berbeda
dengan pandangan Barat, para Ilmuan Muslim berpendapat bahwa kita bisa
mengetahui objek fisik (yang terlihat) dan objek nonfisik (yang tidak
terlihat). Oleh karena itu, dalam teori ilmu pengetahuan Islam kita bisa
mengenal objek – objek nonfisik, seperti konsep mental dan metafisika.
Demikian
juga tidak mustahil bagi kita unntuk mengetahui makhluk – makhluk ‘halus’,
seperti jin, malaikat, dan ruh, disamping benda – benda fisik yang kita jumpai
di dunia ini.
Dari
kerangka berfikir seperti inilah, teori ilmu pengetahuan Islam telah berhasil
menyusun klasifikasi ilmu yang komprehensif dan disusun secara hierarki, yaitu
metafisikan menempati posisi tertinggi, disusul oleh matematika, dan terakhir
oleh ilmu fisik.
Hal inilah
yang melahirkan berbagai disiplin ilmu rasional dalam dunia Islam, seperti
ontology, teologi, kosmologi, angelology, dan eskatologi yang termasuk ke dalam
kategori ilmu – ilmu metafisika. Sedangkan geometri, aljabar, aritmetika, musi,
dan trigonometri, yang termasuk dalam kategori ilmu – ilmu matematika. Dan
fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, dan sebagainya yang termasuk dalam
kategori ilmu – ilmu fisik.
Setelah
kita panjang lebar menyibak sebagian kecil teori ilmu pengetahuan Islam,
sekarang kita beralih topik pada pembahasan metodelogi (cara) ilmiah ilmu
pengetahuan Islam.
Metode
ilmiah yang dikembangankan oleh para pemikir Muslim berbeda secara signifikan
dengan metode ilmiah yang dikembangakan oleh para pemikir Barat. Sebab seperti
yang dikatakan Ziauddin Sardar, sementara para ilmuan Barat menggunakan hanya
satu macam metode ilmiah, yakni metode observasi (pengamatan langsung), para
pemikir Muslim menggunakan tiga macam metode sesuai dengan tingkatam objeknya,
yakni metode observasi sebagaimana yang digunakan Barat atau yang dikenal
dengan istilah bayani, kedua metode
logis (berdasarkan logika) atau disebut burhani,
dan metode intuitif atau yang disebut dengan irfani, yang masing – masing bersumber pada indera, akal, dan
hati.
Sementara
Barat berhenti pada bidang – bidang fisik dalam penelitian ilmiah, ilmuan –
ilmuan Muslim yang sekaligus filosof, meneruskan kajian ilmiah mereka ke bidang
nonfisik, baik yang bersifat matematis, maupun metafisis.
Dalam
kaitannya dengan metodelogi, timbul pertanyaan jika penelitian terhadap objek –
objek fisik dilakukan melalui pengamatan indra, dengan cara apakah kita dapat
melakukan pengamatan terhadap objek – objek nonfisik, ketika indra kita tidak
bisa melakukan apa – apa? Jawabnya ada dua : akal dan hati.
Selain
mampu mengolah data – data indrawi, akal juga mampu menangkap konsep – konsep
mental dan intelektual yang bersifat nonfisik. Dengan kemampuan tersebut, akal
telah menunjukkan kemampuannya untuk mengetahui objek – objek noninderawi.
Meskipun
demikian perlu diingat bahwa akal bukan satu – satunya alat yang bisa kita
gunakan untuk menangkap realitas – realitas nonfisik, karena selain akal
manusia juga dikaruniai oleh Tuhan dengan ‘hati’ (qalb), atau intuisi, yang bisa dugunakan untuk tujuan tersebut.
Meskipun
akal dan hati sama – sama mampu menangkap objek – objek nonfisik, sebenarnya
mereka menggunakan pendekatan dan cara (metode) yang berbeda. Suhrawardi
menyebutkan pendekatan akal dengan bahtsi
(diskursif), sedangkan hati dengan dzauqi
(presensial). Dalam pendekatan bahtsi,
objek – objek ilmu diketahui melalui penalaran akal atau logika. Dengan
demikian, objek – objek akal diketahui secara tidak langsung melalui proses
pengambilan kesimpulan dari yang telah diketahui menuju yang tidak diketahui;
karena itu pendekatan ini disebut juga inferensial.
Berbeda
dengan pendekatan rasional, pendekatan intuitif disebut sebagai pendekatan
presensial (presential) karena objek
– objeknya hadir (present) dalam jiwa
seseorang. Oleh karena itu, kita bisa mengalami dan merasakannya dan dari
sinilah istilah dzauqi (rasa) timbul.
Selain
itu, objek – objek tersebut juga bisa diketahui secara langsung karena tidak
ada lagi jurang yang memisahkan si peneliti dengan objek – objek yang diteliti
karena di sini telah terjadi kesatuan antara subjek dan objek, antara yang
mengetahui dan yang diketahui.
Dengan
demikian, seluruh rangkaian wujud menjadi objek – objek ilmu pengetahuan – yang
fisik dan nonfisik – dapat diketahui oleh manusia.
Komentar
Posting Komentar