Media Komunikasi Massa Pertama
Media
Komunikasi Massa Pertama
Media komunikasi massa pertama dikenal pada zaman Romawi
59 Sebelum Masehi (SM). Pada saat itu dikenal surat edaran bernama Acta Diurna yang terbit di Roma Kuno
(Romawi). Surat edaran ini terbit setiap hari, isinya menyajikan
peristiwa-peristiwa sosial dan politik (Zaenudin, 2011:1).
Acta Diurna tersebut berbentuk newssheet, yakni kerta-kertas lepas yang digantungkan. Isi Acta Diurna berupa informasi dari pusat
pemerintahan Romawi kepada rakyatnya. Informasi itu dipasang di Forum Romanum (Stadion Romawi) agar
diketahui rakyat. Sedangkan berbagai undang-undang, peraturan, dan tata tertib
yang disahkan senat negeri tersebut diumumkan di depan gedung senat Romawi dan
disebut Acta Senattus. Informasi
keagamaan diumumkan Imam Agung di papan halaman gereja dengan nama Anales, zsedangkan orang yang
menyebarluaskan hal itu disebut diurnarius
(Soenaryo & Soenaryo dalam Mondry, 2008:28).
Pada masa ini merupakan komunikasi sekunder yang
menggunakan Acta Diurna sebagai media
komunikasi massa pertama di dunia. Pesan yang disampaikan dipancangkan di papan
tulis putih di lapangan terbuka di tempat rakyat berkumpul. Maka rakyat dapat
mendapatkan informasi mengenai berbagai kebijakan keputusan dengan mudah.
Selanjutnya, hal ini menjadi alat propaganda pemerintah Romawi yang memuat
berita-berita mengenai peristiwa-peristiwa yang perlu diketahui oleh rakyat
(Hamzah dalam Sumandiria, 2006:17).
Kelahiran Wartawan Pertama
Para petinggi dan majikan di Roma pada masa itu biasa
menugaskan para budak (slave) yang
cerdik dan bisa membaca dan menulis guna mencatat berbagai informasi yang
diumumkan pemerintah Roma (Supriyanto dalam Mondry, 2008:28). Budak tersebut menghadiri siding-sidang senat
dan melaporkan semua hasilnya baik secara lisan maupun secara tulisan kepada
majikannya. Kalau majikan budak ini sedang bertugas di daerah, budak-budak ini
selalu mengusahakan dan mengirim berita-berita yang terjadi di Kora Roma dnegan
maksud agar tuannya selalu mengikuti kejadian-kejadian di kota tersebut.
Demikian pula halnya bagi pemilik budak yang sedang bertugas di Kota Roma.
Mereka mempunyai petugas-petugas di daerah-daerah yang bertugas mengirimkan
berita-berita dan peristiwa-pertiswiwa yang terjadi di daerah (Hamzah dalam
Sumandiria, 2006:17).
Lama-kelamaan, mereka memanfaatkan informasi sebagai
usaha dengan mencari informasi berkeliling daerah, sehingga muncul istilah slave reporter atau “kuli tinta” (Mondry,
2011:28).
Komentar
Posting Komentar