PELANGGARAN ETIKA KOMUNIKASI



PELANGGARAN ETIKA KOMUNIKASI ANTAR PERSONAL
DAS SAIN :
Seorang putri pulang larut malam. Dia terlihat sangat lelah karena telah menghadiri diskusi kelompok yang sangat panjang. Saat pulang, tanpa mendengarkan penjelasan putrinya, sang ayahnya langsung memarahi sang putrid dengan kata – kata tegas dan kasar. Di bilangnya bahwa putrinya tersebut tidak tahu waktu, tidak tahu diri, tidak berguna karena tidak mematuhi aturan orangtua. Tidak terima dikata – katai ayahnya, sang putri menggebrak meja, dan berbicara lantang, tidak kalah keras dari nada marah ayahnya. Dia pergi ke kamarnya, membantingkan pintu.
Saat dikonfirmasi pada sang ayah, dirinya bercerita bahwa kemarahannya tersebut merupakan efek panjang dari kekhawatiran pada anaknya. Ayahnya bercerita bahwa dirinya sangat resah, karena sang anak tidak kunjung pulang sejak sore hari. Telepon genggamnya tidak bisa dihubungi. Kekhawatiran tersebut semakin memuncak ketika dirinya melihat tayangan berita di televisi yang menampilkan kabar mahasiswi kedokteran yang diperkosa sekaligus dibunuh pada saat pulang larut malam.
Ketika sang anak pulang, ayahnya lantas mengungkapkan kekhawatiran itu dengan menyalurkan emosi negatif pada anaknya dengan cara berkata – kata tegas dan marah tanpa mendengarkan terlebih dahulu penjelasan anaknya. Dia berprasangka buruk, kalau anaknya pulang larut malam karena asyik bermain dengan teman – temannya.
Dengan cara memarahi anaknya dengan tegas, sang ayah berharap anaknya akan jera, sehingga tidak lagi membuat ayahnya khawatir. 
Sedangkan dari cerita sang putri diungkapkan bahwa dirinya pada malam itu merasa sangat lelah karena telah melakukan diskusi kelompok yang sangat panjang di rumah salah satu temannya. Diskusi tersebut membahas mengenai tugas presentasi yang akan dilakukan keesokan harinya di kelas. Motif utama, sang putri melakukan hal tersebut adalah menjadi juara kelas yang dapat membanggakan hati sang ayah.
Di sepanjang perjalanan, dia membayangkan wajah ayahnya yang lembut dan membelainya dengan kasih sayang sembari mengucapkan terimakasih karena dirinya telah berusaha keras menjadi juara kelas. Dibayangkan pula, kasur yang empuk dan niat mengisi ulang batere telepon genggam, karena sejak pagi teleponnya habis batere.
Ketika sampai di rumah dia berusaha menjelaskan hal yang sebenarnya, namun sang ayah tak memberinya kesempatan dan langsung memarahinya dengan kata tegas. Sang anak yang merasa tidak terima dengan perlakuan tersebut dan merasakan marah, lantas menyalurkannya dengan menggebrak meja, dan pergi ke kamar lalu menangis.

ANALISIS :
Komunikasi antarpribadi didefinisikan oleh Joseph A. Devito dalam buku Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi karya Onong Uchjana Effendy adalah sebagai proses penerimaan dan pengiriman pesan antara dua orang, atau diantara kelompok kecil orang – orang, dengan beberapa efek dan beberapa umpak balik seketika.
Berdasarkan definisi itu, komunikasi antar pribadi dapat berlangsung secara tatap muka seperti kasus di atas (seorang ayah dan putrinya). Dari kasus diatas jenis komunikasi antar pribadi yang dilakukan disebut Onong sebagai komunikasi diadik (dyadic communication).
Komunikasi diadik adalah komunikasi antarpribadi yang berlangsung antara dua orang yakni yang seorang adalah komunikator yang menyampaikan pesan (sang ayah yang tengah marah) dan seorang lagi komunikan yang menerima pesan (sang anak yang tengah dimarahi). Oleh karena perilaku komunikasinya dua orang, maka dialog yang terjadi berlangsung secara intens (dua arah). Di mana pada saat pertama kali terjadi interaksi, sang ayah berperan sebagai komunikator dengan mengkomunikasikan pesan kemarahannya kepada anaknya yang berlaku sebagai komunikan. Setelah beberapa saat, sang anak mengambil alih pembicaraan dengan menjadi komunikator (sikap menggebrak meja, memarahi balik sang ayah dan meninggalkannya), pada saat situasi tersebut sang ayah berpihak sebagai komunikan.
Dalam kasus tersebut, tujuan komunikasi (yakni perubahan perilaku sang anak agar anak tersebut tidak lagi pulang malam) tidak tercapai. Disebabkan oleh adanya hambatan komunikasi.
Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Onong bahwa tidaklah mudah untuk melakukan komunikasi secara efektif. Karena terdapat banyak hambatan yang bisa merusak komunikasi.
Adapun hambatan yang terjadi pada kasus diatas adalah sebagai berikut:
1.    Hambatan kepentingan
Menurut Onong, kepentingan bukan hanya mempengaruhi perhatian kita saja tetapi juga menentukan daya tanggap, perasaan, pikiran, dan tingkah laku kita akan merupakan sikap reaktif setiap segala perangsang yang tidak sesuai atau bertentangan dengan suatu kepentingan.
Dalam hal ini, ketika ayah dan anak bertemu, terjadi konflik kepentingan di mana sang ayah ingin anaknya mendengarkan patuh dan merasa jera karena susah dihubungi dan pulang larut malam. Sedangkan kepentingan sang anak adalah keinginan sang ayah untuk berterimakasih padanya dan segera tidur karena lelah.
Konflik kepentingan tersebut yang menjadikan komunikasi tidak berjalan dengan lancar.
2.    Hambatan Prasangka
Menurut Onong, prejudice atau prasangka merupakan salah satu rindangan atau hambatan berat bagi suatu kegiatan komunikasi oleh karena orang yang mempunyai prasangka belum apa – apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikan yang hendak melancarkan komunikasi.
Dalam hal ini, sang ayah ‘gelap mata’, tanpa mendengarkan penjelasan sang anak, dirinya langsung memarahi anak tersebut. Karena sebelumnya dirinya telah berprasangka buruk pada anaknya.
Sedangkan dari sisi etika komunikasi dalam hal ini sang ayah bertindak salah, karena tidak melihat kondisi fisik sang anak yang lelah, dan bersabar mendengarkan penjelasan yang sebenarnya. Sedangkan sang anak yang emosi tidak menghormati sang anak dengan berbicara keras dan menggebrak meja.

DAS SOLLEN:
Komunikasi interpersonal merupakan proses komunikasi antar pribadi atau individu. Untuk menjaga agar proses komunikasi tersebut berjalan baik, maka diperlukan etika komunikasi interpersonal yang perlu diperhatikan oleh pihak-pihak yang terlibat dalam proses komunikasi tersebut.
Adapun yang harus diperhatikan antara lain:
-       Nilai-nilai dan norma-norma sosial budaya setempat
-       Segala aturan, ketentuan, dan tata tertib yang sudah disepakati
-       Adat-istiadat, kebiasaan yang dijaga kelestariannya
-       Tata karma, sopan santun, dan budi pekerti
Dalam pergaulan dan kehidupan bermasyarakat, antara etika dan komunikasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Di manapun orang berkomunikasi, selalu memerlukan pertimbangan etis, agar lawan bicara dapat menerima dengan baik. Ketika komunikator paham tentang karakter komunikan yang kita hadapi, maka komunikator akan lebih mudah berusaha menampilkan diri sebaik-baikya dalam berkomunikasi. Sehingga akan dengan mudah mencapai tujuan komunikasi, yakni perubahan sikap.
PELANGGARAN ETIKA KOMUNIKASI KELOMPOK
DAS SAIN :
Dalam sebuah kuliah yang dilakukan di ruang kelas terdapat seorang dosen yang tengah menjelaskan salah satu mata kuliah. Selama kuliah berlangsung terlihat sebagian mahasiswa kurang fokus pada perkuliahan yang diselenggarakan. Sebagian diantara mereka ada yang terlihat mengantuk, berbisik dengan temannya, atau sibuk sendiri dengan telepon genggam dan membaca buku kesukaan.
Dalam ruang kelas tersebut, komunikasi berjalan satu arah, karena dosen hanya menerangkan slide – slide presentasi yang dipancarkan oleh mesin in focus. Untuk memecahkan kantuk, salah satu mahasiswa yang berada di bangku paling belakang mencoba memakan permen. Perlahan tapi pasti dia membuka bungkus permen tersebut. Tanpa dia sadari, usaha membuka permen itu telah menimbulkan bunyi dan noise di kelas. Seketika pula, beberapa teman mahasiswa yang berada di depan dan mendengar kegaduhan tersebut tersenyum – senyum dan cekikikan menyembunyikan tawa dibalik tangan mereka.
Menyadari hal tersebut, sang dosen terlihat tersinggung. Dari raut mukanya, dia terlihat khawatir, bahwa tertawaan mahasiswa ditujukan padanya. Seraya dia berkata: “Kenapa teman – teman (sebutan untuk mahasiswa)? Ada apa tertawa? Apakah ada yang salah dengan apa yang ibu sampaikan?” tanyanya bingung.
Seketika sang mahasiswa menyadari bahwa sang dosen tersinggung, dan menghentikan tawa mereka, seraya menjawab: “Tidak bu, tidak ada apa – apa,” ujar mahasiswa.

ANALISIS :
Robert F Bales dalam Onong (2003:73) menyebutkan bahwa kelompok adalah sejumlah orang yang terlibat dalam interaksi satu sama lain dalam suatu pertemuan yang bersifat tatap muka (face to face meeting) di mana setiap anggota mendapat kesan atau penglihatan antara satu sama lainnya yang cukup kentara, sehingga dia baik pada saat timbul pertanyaan maupun sesudahnya dapat memberikan tanggapan kepada masing – masing sebagai perorangan.
Berdasarkan definisi di atas sejumlah orang dalam situasi seperti itu harus berada dalam kesatuan psikologis dan interaksi.
Sedangkan komunikasi kelompok adalah komunikasi yang berlangsung antara seorang komunikator dengan sekelompok orang yang jumlahnya lebih dari dua orang. Dalam kasus di atas jenisnya termasuk komunikasi kelompok kecil. Karena menurut Onong, komunikasi kelompok kecil merupakan komunikasi yang ditujukan kepada kognisi komunikan, dan prosesnya berlangsung secara dialogis. Dalam komunikasi ini, komunikator menunjukkan pesannya kepada benak dan pikiran komunikan.
Ditinjau dari sudut komunikasi, komunikasi kelompok yang dilakukan dosen dan mahasiswa tidak berjalan mulus karena terdapat beberapa gangguan, diantaranya adalah:
1.    Gangguan Mekanik
Yang dimaksud dengan gangguan mekanik adalah gangguan yang disebabkan saluran komunikasi atau kegaduhan yang bersifat fisik. Dalam hal ini, suara bungkus permen yang memecahkan konsentrasi mahasiswa.
2.    Prasangka
Prasangka merupakan salah satu rindangan atau hambatan berat bagi suatu kegiatan komunikasi oleh karena orang yang mempunyai prasangka belum apa – apa sudah bersikap curiga dan menentang komunikan yang hendak melancarkan komunikasi. Dalam hal ini, sang dosen berprasangka bahwa tertawaan mahasiswa ditujukan padanya, sehingga tujuan komunikasi awal (perkuliahan) terhenti sejenak.
Sedangkan jika dilihat dari sisi etika komunikasi, mahasiswa dalam hal ini bertindak kurang tepat. Karena melakukan ‘acara di dalam acara’, noice bungkus permen yang dimainkannya memecahkan konsentrasi mahasiswa lain. Selain itu membuat dosen merasa tersinggung, karena berfikir mahasiswa lain metertawakan kesalahan  yang tak sengaja dibuatnya.

DAS SOLLEN:
Cheney dan Tompskins merujuk pada Henry W. Johnstone Jr., untuk mengingat standar-standar etika yang mereka anjurkan guna memandu komunikasi kelompok. Empat tugas keetikaan Johnstone yakni: Keteguhan hati, keterbukaan, kelemah lembutan, dan keharuan. Hal tersebut selanjutnya dimodifikasi oleh Cheney dan Tompkins untuk diterapkan dalam konteks komunikasi kelompok antara lain:
1.    Kehati-hatian
Komunikator dalam kelompok seharusnya menggunakan kemampuan persuasifnya sendiri untuk menilai secara menyeluruh pesan-pesan yang jelas dan yang tersembunyi dari organisasi tersebut dan harus menghindari penerimaan atas pandangan konvensional secara otomatis dan tanpa berpikir.
2.    Mudah untuk dicapai
Komunikator dalam organisasi harus terbuka terhadap kemungkinan diubahnya pesan dari orang lain dari orang yang dibujuk. Keyakinan yang kita pegang secara dogmatis atau pandangan berfokus sempit yang membutakan kita terhadap informasi yang berguna,pandangan yang berbeda tentang suatu masalah, atau penyelesaian alternatif,perlu diseimbangkan atau dikurangi.
3.    Tanpa kekerasan, penipuan, terang-terangan atau pun tidak, terhadap orang lain berdasarkan etika tidak diinginkan.
4.    Empati
Komunikator benar-benar mendengarkan argumen, opini, nilai dan asumsi orang lain, terbuka terhadap perbedaan pendapat, mengesampingkan cetusan streosip berdasarkan julukan atau isyarat non verbal, dan menghargai hak semua orang sebagai person untuk memegang pandangan yang berbeda. Dalam latar kelompok Empati melibatkan keseimbangan kepentingan individu dan kepentingan kelompok.
PELANGGARAN ETIKA KOMUNIKASI MASSA
DAS SAIN :
Dari bidang jurnalistik yang dapat kita ambil tentang bagaimana akibatnya jika etika tidak dipedulikan adalah pemberitaan yang dilakukan oleh media massa tentang korban meninggal akibat tertabrak oleh Abdul Qadir Jaelani (AQJ), anak musisi Indonesia ternama Ahmad Dani.
Peristiwa yang mengerikan dan menggemparkan itu sempat menjadi fokus utama, bahkan pemberitaan tentang korban-korban yang berjatuhan akibat kejadian itu sempat memakan waktu dalam pemberitaan.
Isi pemberitaan pun akhirnya didominasi oleh berita tentang bagaimana keluarga korban bereaksi saat mengetahui bahwa keluarga mereka menjadi korban dalam peristiwa naas tersebut.
Pada saat itu, beberapa stasiun televisi meliput habis-habisan tentang bagaimana kesedihan yang menimpa keluarga korban, terutama saat jenasah para korban tiba di tempat kediamannya hingga proses penguburannya. Bahkan beberapa reporter sengaja di tempatkan di beberapa rumah korban untuk meliput secara langsung kesedihan yang dialami oleh keluarga korban.
Di dalam peliputan tersebut pun terlihat bagaimana kameramen ikut berdesakan bersama keluarga korban yang sedang saling berpelukan dan menangis, demi mendapatkan gambar wajah mereka yang penuh dengan kesedihan itu.
Beberapa reporter pun sempat melakukan wawancara langsung terhadap keluarga korban yang intinya adalah mempertanyakan bagaimana perasaan mereka atas kematian sanak saudara mereka itu. Dan akibat dari pertanyaan itu adalah keluarga korban kembali menangis karena teringat akan apa yang menimpa keluarga mereka.
Tayangan yang paling menyayat hati adalah saat kameramen meliput ekspresi dan tangis histeris salah satu keluarga dekat korban saat menghantarkan kepergian korban ke tempat peristirahatan yang terakhir. Orang tersebut menangis sejadi-jadinya hingga kehabisan tenaga, dan untuk berjalan saja ia harus dipapah oleh orang-orang di sekelilingnya.
ANALISIS:
Dalam bukunya, Onong mengungkapkan bahwa seorang yang menggunakan media massa sebagai alat untuk melakukan kegiatan komunikasinya perlu memahami karakteristik komunikasi massa, yakni:
1.    Komunikasi massa bersifat umum dan terbuka
2.    Komunikan bersikap heterogen
3.    Media massa menimbulkan keserempakan
4.    Hubungan komunikator – komunikan bersifat non pribadi
Dari kasus di atas menunjukkan ketidakmanusiawian dan ketidaketisan media dalam melakukan peliputan dan pemberitaan. Berita yang seharusnya juga menggambarkan bahwa media pun turut berduka atas tragedi itu, formatnya justru berubah menjadi format infotainment.
Untuk menggugah dan merenyuh sisi humanis kemanusiaan, dramatisasi dapat dibenarkan namun tetap dalam bingkai dan norma yang berlaku, terutama tetap harus berdasarkan fakta (Iswandi, 2006: 184).
Sama seperti mereka mengejar artis-artis untuk meminta keterangan lebih lanjut tentang kehidupan pribadi mereka, di dalam kasus ini pun mereka memaksakan kehendak untuk mewawancarai keluarga korban. Padahal harus kita akui bahwa gambar-gambar yang berhasil diambil oleh wartawan sudah menunjukkan secara jelas apa yang dirasakan oleh keluarga korban.
Sebenarnya hal ini tidak boleh dilakukan mengingat narasumber masih berada dalam trauma kejiwaan dan hal ini pun telah diatur di dalam Kode Etik Jurnalistik pasal 2 yang berbunyi, wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik. Yang termasuk di dalamnya adalah menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara.
Sehingga dapat dikatakan bahwa wartawan tidak dibenarkan untuk melakukan wawancara langsung dengan pihak keluarga korban maupun meliput gambar secara berlebihan untuk menambah efek dramatisasi. Padahal kejadian ini sudah cukup mengagetkan masyarakat tanpa perlu ditambahi efek seperti itu.

DAS SOLLEN :
Joseph Pulitzer, Bapak pers AS, pernah mengatakan bahwa “surat kabar tanpa etika bukan hanya tak mampu melayani khalayak, melainkan justru akan berbahaya bagi khalayak”.
Media sebagai alat komunikasi massa tidak terlepas dari interaksinya dengan khalayak; publik sangat berhubungan dan bergantung terhadap media yang dikonsumsi oleh orang banyak.
Apa yang disajikan oleh media atas perannya sebagai media komunikasi massa (ditujukan kepada orang banyak) sangat dapat mempengaruhi sikap dan perilaku massa itu sendiri.
Penyimpangan dan pelanggaran yang dilakukan oleh media dapat berdampak buruk bagi masyarakat. Oleh sebab itu, etika menjadi salah satu poin penting untuk menjaga media dan para pelakunya berada dalam jalur yang semestinya.
Nurudin dalam Pengantar Komunikasi Massa (2007: 239 – 270) menjabarkan secara lengkap terkait etika komunikasi massa. Nurudin dengan cermat memulai penjelasannya dengan menjabarkan latar belakang mengapa kita harus belajar tentang etika, perbedaan serta hubungan antara etika dengan etiket dan moral, serta menjelaskan secara rinci tentang pembagian etika dalam komunikasi massa.
Dalam menangani berita, wartawan memang memiliki kebebasan dalam menulis. Namun kebebasan itu tetap dibatasi oleh moral, yaitu etika. Memang wartawan dituntut untuk memberikan berita secara cepat, tapi cepat bukan berarti ngawur.
Berita yang akan dan telah ditulis itu tetap harus dipertimbangkan kembali dari segi humanisnya serta dampaknya terhadap orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dalam kasus ini, peliputan yang dilakukan menunjukkan bahwa wartawan melupakan sisi humanisnya, di mana wartawan justru mengekspose kesedihan keluarga korban untuk disajikan kepada publik dalam durasi waktu yang berlebihan. Bahkan penayangan gambar-gambar yang paling menunjukkan ekspresi kesedihan itu tidak hanya diputar satu kali saja, melainkan beberapa kali di dalam program berita yang berbeda-beda.
Etika yang diabaikan dalam dunia komunikasi dapat menghilangkan kepekaan sosial dan rasa peduli terhadap sesama. Komunikasi memang sangat diperlukan di dalam bersosialisasi dan bermasyarakat, dan media adalah alat yang digunakan untuk menyampaikan informasi-informasi yang dibutuhkan oleh masyarakat.
Namun dalam berkomunikasi, terutama dalam menyampaikan informasi melalui media, di mana media dapat dengan mudah membentuk cara pandang masyarakat, banyak hal-hal yang harus dipertimbangkan kembali berkaitan dengan etika. Sedangkan masyarakat jaman sekarang sudah terbiasa untuk menyaksikan kejadian-kejadian ekstrim yang disajikan melalui media, sehingga kepekaan mereka akan pelanggaran etika yang dilakukan dalam dunia komunikasi melalui media pun sering tak mereka sadari, bahkan hanya diterima mentah-mentah sebagai sebuah informasi semata.
Sangat disayangkan bahwa di era sekarang ini, nilai etika tampaknya sudah mulai pudar dan bergeser. Banyak tindakan yang dulunya dianggap melanggar etika, kini justru diterima begitu saja oleh masyarakat seakan hal tersebut adalah hal yang biasa-biasa saja dan tidak mengganggu.
Salah satu penyebab pergeseran etika, terutama dalam bidang komunikasi, tersebut adalah media massa yang makin meningkat jumlahnya. Dengan berbagai sudut pandang yang dimiliki oleh tiap media terhadap suatu berita, mereka pun mengemasnya sesuai dengan ideologi masing-masing perusahaan dan makin sering melupakan etika yang berlaku secara umum karena tuntutan dari persaingan bisnis dengan perusahaan media lainnya. Akibatnya, mereka seakan membuat batasan baru tentang etika komunikasi yang disesuaikan dengan ideologi perusahaannya masing-masing.




PELANGGARAN ETIKA KOMUNIKASI INTERNASIONAL
DAS SAIN     :
Artikel berjudul Zionisme Vs Zionisme karya Amien Rais dalam bukunya Timur Tengah dan Krisi Teluk, berisi sebagai berikut:
Dalam banyak pembahasan tentang konflik Arab – Israel, Zionisme sering dianggap sebagai biang keladi yang paling kerok. Yasse Arafat dalam wawancara eksklusif dengan majalah Playboy (September 1988) mengatakan bahwa yang paling ditentang oleh PLO bukanlah Israel, tetapi Zionisme yang berada di belakang Israel.
Arafat menerangkan impian Zionisme yang menakutkan pihak Arab: dua garis biru di bagian atas dan bawah bendera Israel melambangkan sungai – sungai Eufrat di Irak dan Nil di Mesir. Aspirasi ekspansionis Zioneisme menambakan wilayah Israel yang membentang di antara dua sungai itu. Bahwa Zionisme adalah musuh PLO, ditegaskan lagi oleh Arafat dalam wawancaranya dengan majalah mingguan Time (7 November 1988). Dan tentu, Zionisme dihantam lagi dalam Sidang Majelis Nasional Palestina di Aljir pertengahan November lalu (tahun 1988).
Pendapat Arafat di atas pada umumnya juga merupakan pendapat para pemimpin dan intelektual Arab. Sudah tentu pendapat ini bukan tanpa dasar. Sejak Theodor Herzl menulis buku “Der Judenstaat” (Negara Yahudi) pada tahun 1895, tokoh – tokoh Yahudi melakukan serangkaian kongres dunia untuk merealisasikan cita – cita Zionis. Sebagai salah satu bapak Zionisme, Herzl meyakinkan bangsa Yahudi bahwa mereka punya hak untuk untuk mendirikan suatu negara.
Mula – mula, selain Palestina, disebut – sebut Argentina dan Uganda sebagai calon wilayah negara Yahudi yang diimpikan itu. Akan tetapi, kaum Yahudi Zionis hanya merindukan Zion di Palestina. Tidak ada kerinduan historis meraka pada Argentina ataupun Uganda.
Dalam perjalanan waktu, hasrat bangsa Yahudi, yang berserakan di bebrgaai pelosok dunia (Yahudi Diaspora) untuk kembali ke Palestina, menimbulkan dua aliran Zionis: Zionisme politik dan Zionisme kultural atau spiritual. Sampai sekarang pertarungan antara keduanya berakhir dengan kemenangan Zionisme politik. Sekalipun bergitu, sisa – sisa pendukung Zionisme spiritual masih acap kali memperdengarkan suaranya.
Berbagai gagasan dilontarkan lewat buku dan pamphlet oleh para tokoh Zionis politik, antara lain Herl, Moshe Lilienblum, Leo Pinsker, Chaim Weizmann, Yabotinsky, Menachem Begin, Moshe Dayan, dan Yitzhak Shamir. Lepas dari perbedaan pendapat para tokoh tersebut, ada persamaan mendasar di antara mereka.
Pertama, wilayah Palestina harus direbut dari tangan orang – orang Arab, yang sudah menghuninya sejak ribuan tahun yang lalu. Caranya, sebelum Israel berdiri, adalah dengan memperoleh tanah seluas mungkin di Palestina, untuk menciptakan suatu falt accompli.
Kedua, penduduk Arab Palestina harus diusir dari tanah airnya ke negara – negara Arab. Sensus Inggris tahun 1922 mencatat ada 660.641 orang Arab dan 83.790 orang Yahudi di Palestina. Untuk membalik perimbangan ini, dilancarkan Yahudinisasi Palestina dan imigrasi besar – besar kaum Zionis.
Ketiga, terror sistematik adalah cara yang paling efektif untuk menyebarkan panik di kalangan bangsa Palestina. Para tokoh Zionis, sejak sebelum Israel berdiri sampai sekarang, sangat memahami fungsi terror sebagai cara paling gampang dan murah untuk menghabisi nyali bangsa Palestina.
Dengan disertai mitos “ Yahudi adalah bangsa pilihan Tuhan” plus arogansi kekuasaan, prinsip – prinsip di atas melahirkan Israel yang solipsis, rasis, anekasionis, dan ekspansionis. Sikap Israel ini kemudian melahirkan berbagai symptom mentalitas ghetto; mentalitas isolasionis, merasa benar sendiri dan tidak peduli pada pendapat atau nasib pihak lain.
Sikap dan pikiran ekstrem di atas ditentang oleh kaum Zionis cultural atau spiritual. Tokoh – tokohnya antara lain adalah Ahad Ha – am, Judas Magnes, Martin Buber, dan sampai batas tertentu, juga Hans Kohn. Mereka berpendapat bahwa: pertama, ada isu moral snagat mendasar yang menyangkut eksistensi bangsa Palestina di Palestina, di tanah air mereka sendiri. Sangat immoral jika kaum Yahudi mendesak dan mengusir bangsa Palestina dari tanah airnya.
Kedua, bila Zionisme menekankan hak historis bangsa Yahudi untuk kembali ke Palestina, bangsa Arab Palestina pun punya hak historis yang harus dihormati. Bila hak menentukan nasib sendiri dituntut dan diperoleh oleh Yahudi, mengapa hak yang sama tidak diberikan untuk Arab Palestina?
Ketiga, pemecahan adil bagi konflik Israel – Palestina adalah dengan mendirikan sebuah bi – national state, negara dengan dwi – kebangsaan tempat orang Yahudi dan Arab hidup berdampingan secara damai. Sudah tentu banyak lagi pikiran lumayan jernih yang dijual kepada masyarakat Yahudi, tetapi saying sekali, belum bisa laku keras.
Prinsip – prinsip di atas diteruskan oleh tokoh – tokoh kontemporer Zionisme cultural, seperti Yehoshavat Harkabi, Uri Davis, dan para pemerkasa gerakan Peace Now. Bedanya bukan dengan menjadikan Israel sebagai suatu negara dwi – kebangsaan, tetapi dengan menyetujui pembentukan negara Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat. Dus, dua negara di Palestina : Negara Israel dan Negara Palestina Merdeka yang hidup berdampingan secara damai.
Pertengah November lalu (tahun 1988), Majelis Nasional Palestina (PNC) telah membuat terobosan historis dan monumental di Aljir, Aljazair. PNC memproklamasikan Negara Palestina Merdeka dan menerima resolusi DK – PBB No 242 yang berisi pengakuan pada eksistensi Israel. PNC telah mengambil jalan yang sangat moderat dan realistis. Pengakuan internasional juga terus mengalir.
Nasib penganut Zionisme cultural berpendapat, adalah sia – sia bahkan berbahaya, jika Israel mempertahankan Tepi Bara dan Jalur Gaza sebagai wilayah Israel. Satu tiga perempat juta bangsa Palestina di wilayah pendudukan ini menjadi qunbulab dimugrafiyah atau bom demografis yang terus menggelembung dan akan menghantam Israel sendiri. Sebaliknya, kaum Zionisme politik berpendirian, bom demografis itu dapat dilenyapkan dengan memaksakan eksodus bangsa Palestina.
Bila akal sehat kalah lagi di Israel, tidak mustahil perang antara dua bangsa sepupu Semit pecah lagi dengan daya destruksi yang lebih dahsyat. Dua elemen baru yang sangat gawat di Timur Tengah setelah usainya perang Iran – Iraq, adalah senjata bio kimia dan rudal jarak jauh yang dimiliki oleh banyak negara di kawasan eksplosif ini. Tel Aviv kini berada dalam jangkauan rudal – rudal Arab, demikian pula kota – kota besar Arab tidak sulit dijangkau oleh rudal Israel. (Ditulis oleh DR M Amien Rais di Majalah Tempo, 3 Desember 1988)
ANALISIS:
Komunikasi internasional merupakan proses interaksi pertukaran pesan dari satu orang atau lebih yang dilakukan antar negara. Komunikasi tersebut, dapat bersifat personal ataupun kelembagaan, misalnya pemerintahan.
Dalam hal ini, komunikasi yang dilakukan antara negara Israel dan Palestina. Dari artikel yang dibahas oleh Amien Rais tersebut, telah ditemukan salah satu poin yang mengandung pelanggaran etika komunikasi internasional, yakni: teror sistematik yang dilakukan oleh Israel kepada Palestina. Karena menurut Israel, teror adalah cara yang paling efektif untuk menyebarkan panik di kalangan bangsa Palestina. Para tokoh Zionis, sangat memahami fungsi terror sebagai cara paling gampang dan murah untuk menghabisi nyali bangsa Palestina.
Ditinjau dari sudut etika, hal ini sangat melanggar, karena Israel telah merugikan pihak Palestina dengan menyebarkan teror.
DAS SOLLEN:
“Etika dengan sendirinya bisa diartikan sebagai ilmu yang membicarakan masalah perbuatan atau tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang jahat. Etika sendiri sering digunakan dengan kata moral, susila, budi pekerti, dan akhlak.” (Burhanudin Salam, 2000, dalam Nurudin, 2007: 242).

Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer