JURNALISTIK ISLAMI
Latar Bekalang Masalah
Haruskah
seorang jurnalis melepas keyakinan agamanya ketika melakukan tugas jurnalistik?
Pertanyaan ini menggelitik penulis karena ada cara pandang sebagian jurnalis
yang mengatakan, jika jurnalis tidak melepas keyakinan agamanya ketika
melakukan tugas jurnalistiknya, contoh meliput konflik agama, maka akan
kehilangan obyektivitas. Benar kah cara pandang demikian? Apakah seorang
jurnalis yang memegang teguh ajaran agamanya akan kehilangan obyektivitasnya
ketika melakukan tugas jurnalistik di tengah konflik? Apapun penyebab konflik
tersebut?
Penulis
beranggapan cara pandang demikian tidak lepas dari paham sekulerisme yang
memisahkan agama dari realita kehidupan. Paham ini sudah keluar dalam ilmu-ilmu
jurnalistik yang diajarkan di banyak perguruan tinggi. Keduanya sudah menjadi
darah daging yang sulit dipisahkan. Hal itu dapat dilihat dari sembilan elemen
jurnalisme yang menjadi ideologi mainstream dalam jurnalistik. Salah satu
elemen yang diajarkan adalah, jurnalistik harus mengejar kebenaran untuk
disampaikan kepada masyarakat.
Namun,
jurnalistik tidak mengajarkan apa itu kebenaran dan apa parameter kebenaran
yang dianut. Dalam kajian jurnalistik, kebenaran menjadi relatif dengan alasan
terlepas dari kepentingan tertentu atau tidak memihak demi keberimbangan.
Penulis buku sembilan elemen jurnalisme, Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, bahkan
mengaku kesulitan menentukan apa itu kebenaran. Bagi keduanya, jurnalistik akan
sampai pada kebenaran jika sudah mewawancarai ribuan orang mengenai suatu
persoalan. Dengan ribuan pendapat yang dikumpulkan, maka akan diolah untuk
kemudian dijadikan sebuah kebenaran.
Kebenaran
yang dihasilkan dari wawancara terhadap ribuan individu tentunya akan
menimbulkan persoalan lain. Bukan kah setiap kepala memiliki pendapat yang
tidak sama? Seperti pepatah mengatakan, rambut boleh hitam, tapi isi kepala
belum tentu sama. Belum lagi pendapat ribuan orang di suatu negara akan berbeda
dengan di negara lain. Artinya, kebenaran yang diajarkan Bill Kovach dan Tom
Rosenstiel kehilangan parameter dan pijakannya. Dia akan menjadi relativisme
yang kemudian sulit menemukan definisi kebenaran sejati.
Jurnalistik
yang mengadopsi paham sekulerisme telah menjadikan para jurnalis sebagai
manusia yang tercerabut dari identitas agama. Di dalamnya, ditelan
mentah-mentah gelombang perubahan cara pandang. Jurnalistik menjadi sebuah
bagian dari industrialisasi media massa yang dikuasai oleh kelompok kapitalis.
Harvey Cox memberikan istilah sekulerisme sebagai pembebasan manusia dari agama
dan pengawasan metafisik, menjadi pengalihan perhatian kepada yang ada "di
sini dan kini", sebagai konsekuensi logis dari dampak keyakinan yang
bersumber dari teologi kristen terhadap sejarah.
Perguruan
Tinggi Islam yang mengajarkan jurnalistik harus mengubah cara pandang pemisahan
agama dalam jurnalisme. Dalam sejarahnya, gerakan sekulerisme selalu mendapat
penolakan di negara-negara muslim. Bahkan, di Turki saat ini, secara
perlahan-lahan politik Islam mulai bergeliat melawan dominasi paham sekuler.
Kajian yang dilakukan Mark Juergensmeyer (1993) menunjukkan, negara-negara
dengan penduduk mayoritas muslim belum merasakan hakikat kemerdekaan dari
kolonialisme barat, jika negaramereka belum menerapkan Syariat Islam.
Jurnalistik dengan Islamic Worldview
Islam
memiliki catatan yang panjang dalam kegiatan jurnalistik. Para ulama Islam
menulis ratusan kitab yang di dalamnya sarat dengan informasi, peristiwa dan
cara pandang. Ali bin Abi Thalib bahkan menggambarkan "tulisan adalah
tamannya para ulama". Imam al Ghazali adalah jurnalis ketika menceritakan
ulama di zamannya dalam Ihya Ulumuddin. At-Thabari adalah jurnalis ketika dia
merekam peristiwa sejak Nabi Adam sampai peristiwa di zamannya dalam tarikh al
Umam wa al Muluk. Ibnu Abdi Rabbin juga jurnalis, ketika dia menuturkan
peristiwa-peristiwa sosiokultural dunia Islam klasik dalam 25 kitab yang
diberinya nama Al-Iqd al Farid. Dalam permulaan bukunya, dia bahkan mengutip
ucapan Plato: "Pikiran manusia terekam di ujung pena mereka".
Para
ulama Islam itu merupakan jurnalis-jurnalis andal di zamannya. Mereka jujur dan
dapat dipercaya menyampaikan informasi secara obyektif. Mereka telah berjasa
bukan saja sebagai perekam peristiwa atau pengawal peradaban Islam, melainkan
juga tonggak-tonggak sejarah perkembangan Islam. Kitab-kitab yang mereka tulis
menjadi media yang kemudian bisa dipelajari oleh generasi saat ini. Satu hal
paling penting yang dapat diambil hikmahnya adalah, menjadi jurnalis yang
obyektif tidak perlu menanggalkan kebenaran agama yang dianut.
Para
ulama di atas mampu membuktikan, jurnalis dengan cara pandang yang dibalut
dengan Islamic Worldview, tidak akan menghilangkan obyektivitas. Kebenaran
dalam Islam yang sudah dibakukan dalam kitab suci, tidak menghilangkan
obyektivitas jurnalis dalam melihat realita kehidupan. Lebih dari itu, jurnalis
muslim hendaknya sanggup menjadi jurnalis profetik. Artinya, dia mampu menjadi
pembawa amanat kenabian dan risalah agama, serta mampu melakukan amar ma'ruf
dan nahi mungkar.
Dalam
konteks saat ini, Jurnalistik dengan Islamic Worldview bisa menjadi kajian
untuk menghadang dominasi negara maju di bidang komunikasi massa. Meminjam
istilah ilmuwan sosial, Johan Galtung, adanya dominasi negara maju atas negara
berkembang di bidang komunikasi massa. Imperialisme di bidang komunikasi massa
ini kemudian merasuk dalam ilmu-ilmu jurnalistik. Mengapa disebut imperialisme
komunikasi? Karena pada kenyataannya, hubungan negara maju dengan negara
berkembang menciptakan arus informasi yang mengalir bersifat feodalistik dan
deterministik.
Negara-negara
barat menjadi jendela informasi secara sepihak terhadap negara-negara muslim.
Tapi negara-negara muslim tidak bisa menyebarkan informasi yang benar tentang
kondisi mereka ke negara-negara barat. Maka, yang terjadi adanya distorsi
informasi tentang Islam dan umat Islam di negara-negara barat. Sistem informasi
yang demikian sudah dirancang jauh-jauh hari sebagai bagian dari hubungan
antara negara maju (baca: barat) dan negara-negara berkembang (baca: Islam).
Kantor-kantor
berita yang dimiliki negara-negara Barat, bukan hanya pembuat berita, tetapi
mereka juga menjadi penentu berita apa saja yang layak disalurkan ke
negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Dengan pola arus penyebaran
informasi seperti ini, setidaknya ada dua implikasi. Pertama, menyangkut
akurasi pemberitaan. Kedua, menyangkut soal preferensi obyek pemberitaan.
Dengan
gencarnya arus sekulerisasi di lini massa, maka kajian Jurnalistik dengan
Islamic Worldview bisa menjadi alternatif untuk menghadangnya. Penolakan
terhadap sekulerisme tidak hanya terjadi di dunia Islam.Sejarah telah
menunjukkan penentangan terhadap sekulerisme di seluruh negara. Agama dan
politik jalin-menjalin sepanjang sejarah di seluruh dunia. Sejumlah
pemberontakan melawan penguasa, dari Revolusi Maccabean di Israel kuno sampai
pemberontakan Taiping di Cina, gerakan Wahabiyah di Arab Saudi dan Puritanisme
di Inggris, merupakan gerakan perlawanan kelompok agama terhadap sekulerisme.
Maka
dari itu, penulis tertarik mengangkat tema “Jurnalistik Islami” yang dijadikan
sebagai tema utama dalam pembahasan makalah ini.
Rumusan Masalah
Dari
uraian yang telah disampaikan pada latar belakang di atas, adapun rumusan masalah
yang dapat di susun ialah:
1. Apa
yang dimaksud dengan Jurnalistik Islam?
2. Bagaimana
Perkembangan, Problematika, dan Urgensitas Jurnalistik Islam?
3. Apa
criteria utama Jurnalis Muslim?
Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan
makalah ini adalah:
1. Untuk
mengetahui pengertian Jurnalistik Islam.
2. Untuk
mengetahui perkembangan, problematika, dan urgensitas jurnalistik Islam.
3. Untuk
mengetahui kriteria utama Jurnalis Muslim.
PEMBAHASAN MASALAH
Sejarah Keberadaan Ilmu Komunikasi
Komunikasi
merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dengan
berkomunikasi, seseorang dapat mengutarakan keinginannya dan memenuhi setiap
kebutuhannya. Di lihat dari perspektif Islam terdapat dua bentuk komunikasi
yakni komunikasi vertical dan komunikasi horizontal (Bambang S Ma’arif dalam
modul Komunikasi Perspektif Islam).
Komunikasi
vertical merupakan komunikasi yang dilakukan hamba dengan tuhannya. Sedangkan
komunikasi horizontal merupakan komunikasi yang dilakukan sesama manusia. Hal
ini sesuai Q.S. 3 : 112, manusia akan ditimpa kehinaan kecuali bila berhubungan (komunikasi) dng Allah & manusia.
Menurut
Bambang, komunikasi yang pertama terjadi bukan ketika manusia sudah ada, tetapi sebelum hadirnya manusia,
yakni di saat Allah telah
berkomunikasi dengan makhluk yang lainnya. Meski begitu, Allah
memiliki Otoritas, tetapi
tidak Otoriter. Hal ini ditunjukkan dengan Dia berbagi informasi kepada
malaikat, Adam dan Jin.
Pada
tataran selanjutnya, Allah menawarkan al-amanat (kepemimpinan & agama) kepada langit, bumi dan gunung, tetapi semua
menolaknya. Namun pada saat Allah ketika amanat itu ditawarkan kepada manusia,
ia menerimanya sesuai dengan (QS. 33: 72).
Dalam hal ini Allah SWT selaku Komunikator Utama, tetapi di lain kala juga sebagai Komunikan yg sangat halus/lembut.
Setelah
terpilih manusia sebagai khalifah, malaikat bertanya kepada Allah tentang rencana Penciptaan Adam AS, dan bertanya, karena dikuatirkan makhluk tersebut membuat kerusakan dan menumpahkan
darah. Hal ini sesuai dengan (QS 2: 31 – 32): Mengapa
manusia yg dipilih sebagai pemimpin; bukan dari malaikat yg kerjanya bertasbih?
Padahal
mereka
selalu bertasbih & mensucikan Nama-Nya. Tetapi Allah Mengetahui apa yg tdk
diketahui oleh malaikat. (QS.
2: 30).
Selanjutnya
diciptakanlah manusia pertama yang diciptakan secara langsung dari tanah liat.
Sedangkan keturunannya dari air yang hina (min mȃ’ mahÈ‹n [QS. 32: 8]).
Setelah
itu, barulah terjadi komunikasi antar manusia. Dalam buku Ilmu, Teori, dan
Filsafat Komunikasi, Prof Onong Uchjana Effendy MA menjelaskan mengenai studi
fenomena pernyataan antar manusia, membahas soal perkembangan komunikasi dari
fenomena ke ilmu yang selanjutnya menjadi buku rujukan utama pembuatan tugas
ini.
Menurut
Onong, perkembangan komunikasi dimulai tatkala Adam AS dan Hawa oleh Allah SWT
diturunkan ke dunia, manusia pertama dan kedua yang menjadi suami istri itu
dalam keadaan terpisah, sehingga satu sama lain saling mencari.
Setelah
berhari – hari naik – turun bukit menjelajahi hamparan pasir akhirnya kedua
insane itu bertemulah di suatu padang tandus dekat sebuah bukit. Akhirnya kedua
insan itu bertemu. Betapa girangnya saat bisa mengungkapkan isi hati yang
sekian lama terpendam, merupakan pernyataan antarmanusia yang sangat bermakna.
Fenomena tersebut kelak di kemudian hari menjadi bahan telaah manusia – manusia
berikutnya sebagai keturunan Adam AS dan Hawa itu.
Apabila
pada mulanya pengungkapan pikiran dan perasaan manusia pertama dan kedua itu,
berkisar pada kepentingan individual yang sederhana, maka pada masa – masa
berikutnya, jumlah manusia semakin lama semakin banyak, menjadi suatu
masyarakat yang luas dan kompleks sehingga satu sama lain tidak saling mengenal
secara akrab, bahkan tidak jarang terjadi pertentangan. Maka pikiran seseorang
yang dipengaruhi oleh perasaan itu dapat berupa idea tau gagasan, informasi
atau keterangan/penerangan, himbauan, permohonan, saran, usul, bahkan perintah.
Maka dalam interaksianya manusia – manusia dalam masyarakat itu ketika saling
menyampaikan pikirannya tidak lagi memberitahu agar lawan bicaranya menjadi
tahu, tidak lagi member pengertian agar lawan cakapnya mengerti, tetapi
mempengaruhi agar lawan perbincangannya melakukan sesuatu.
Sampai
sekitar tahun 500 Sebelum Masehi fenomena sosial seperti itu belum ada yang
menelaahnya dan belum ada ilmunya untuk menelaahnya.
Retorika
Pada
abad ke lima Sebelum Masehi untuk pertama kali dikenal suatu ilmu yang mengkaji
proses pernyataan antarmanusia sebagai fenomena sosial tadi. Ilmu ini dinamakan
dalam bahasa Yunani “rhetorike” yang dikembangkan di Yunani Purba, yang
kemudian pada abad – abad berikutnya dimekarkan di Romawi dengan nama dalam
bahasa Latin “rhetorika” (dalam bahasa Inggris “rhetoric” dan dalam bahasa
Indonesia “retorika”).
Di
Yunani, negara asal yang mengembangkan retorika dipelopori oleh Georgias (480 –
370) yang dianggap sebagai guru retorika pertama dalam sejarah manusia yang
mempelajari dan menelaah proses pernyataan antar manusia.
Dimulainya
perngembangan retorika sebagai seni bicara di Yunani itu, adalah ketika kaum
sofis di saat mengembara dari tempat satu ke tempat lain, mengajarkan
pengetahuan mengenai politik dan pemerintahan. Kaum sofis menyatakan bahwa
pemerintah harus berdasarkan suara rakyat terbanyak atau demokrasi yang berarti
pemerintahan rakyat. Untuk itu diperlukan pemilihan. Maka berkembanglah seni
pidato, yang demi tercapainya tujuan kadang membenarkan pemutarbalikan
kenyataan, yang penting khalayak tertarik perhatiannya dan terbujuk.
Filsafat
sofisme yang dicerminkan oleh Georgia situ berlawanan dengan pendapat
Protagoras (500 – 432) dan Socrates (469 – 399). Protagoras mengatakan bahwa
kemahiran berbicara bukan demi kemenangan, melainkan demi keindahan bahasa.
Sedangkan bagi Socrates, retorika adalah demi
kebenaran dengan dialog sebagai tekniknya, karena dengan dialog, kebenaran
akan timbul dengan sendirinya.
Para
pakar retorika lainnya adalah Isocrates dan Plato yang keduanya dipengaruhi
oleh Georgias dan Socrates. Mereka ini berpendapat bahwa retorika berperan
penting bagi persiapan seseorang untuk menjadi pemimpin. Plato yang murid utama
Socrates menyatakan bahwa pentingnya retorika adalah sebagai metode pendidikan
dalam rangkai mencapai kedudukan dalam pemerintahan dan dalam rangka
mempengaruhi rakyat.
Puncak
peranan retorika sebagai ilmu pernyataan antar manusia ditandai oleh munculnya
Demosthenes dan Aristoteles. Demosthenes (384 – 322) di zaman Yunani itu
termasyur karena kegigihan mempertahankan kemerdekaan Athena dari ancaman raja
Philipus dari Macedonia. Pada waktu itu telah menjadi anggapan umum bahwa di
mana terdapat sistem pemerintahan yang berkedaulatan rakyat, di situ harus ada
pemilihan berkala dari rakyat dan oleh rakyat untuk memilih pemimpinnya. Di
mana demokrasi menjadi sistem pemerintahan, di situ masyarakat memerlukan orang
– orang yang mahir berbicara di depan umum.
Di Yunani, retorika
dikembangkan oleh Marcus Tulius Cicero (106 – 43) yang menjadi termasyur karena
bukunya berjudul “de Oratore” dan penampilannya sebagai orator. Gaya retorika ala Cicero sendiri sebagai berikut:
a.
Investio
Investio berarti mencari
bahan dan tema yang akan dibahas. Bahan yang telah diperoleh disertai bukti –
bukti pada tahap ini dibahas secara singkat dengan menjurus pada upaya – upaya
:
1) Mendidik
2) Membangkitkan
kepercayaan
3) Menggerakan persaan
b.
Ordo Collacatio
Ordo collacatio berarti
penyusunan pidato. Di sini sang orator dituntut kecakapan mengolah kata – kata
mengenai aspek – aspek tertentu berdasarkan pilihan mana yang terpenting,
penting, kurang penting, dan tidak penting. Dalam hubungan ini susunan pidato
secara sistematis terbagi menjadi :
1) Exordium (pendahuluan)
2) Narratio (pemaparan)
3) Conformatio (peneguhan)
4) Reputatio (pertimbangan)
5) Perotatio (penutup)
Dalam berbagai literatur
tentang komunikasi Islam kita dapat menemukan setidaknya enam jenis retorika
atau gaya bicara atau pembicaraan (qaulan)
yang dikategorikan sebagai kaidah, prinsip, atau etika komunikasi Islam, yakni
(1) Qaulan Sadida, (2) Qaulan Baligha, (3) Qulan Ma’rufa, (4) Qaulan Karima,
(5) Qaulan Layinan, dan (6) Qaulan Maysura.
1.
Qaulan Sadida
Qaulan Sadidan berarti
pembicaran, ucapan, atau perkataan yang benar, baik dari segi substansi
(materi, isi, pesan) maupun redaksi (tata bahasa). Dari segi substansi,
komunikasi Islam harus menginformasikan atau menyampaikan kebenaran, faktual,
hal yang benar saja, jujur, tidak berbohong, juga tidak merekayasa atau
memanipulasi fakta. Pernyataan tersebut sesuai dengan QS. 4:9 dan QS.
Al-Hajj:30.
2.
Qaulan Baligha
Kata baligh berarti
tepat, lugas, fasih, dan jelas maknanya. Qaulan Baligha artinya menggunakan
kata-kata yang efektif, tepat sasaran, komunikatif, mudah dimengerti, langsung
ke pokok masalah (straight to the point), dan tidak berbelit-belit atau
bertele-tele. Agar komunikasi tepat sasaran, gaya bicara dan pesan yang
disampaikan hendaklah disesuaikan dengan kadar intelektualitas komunikan dan
menggunakan bahasa yang dimengerti oleh mereka. Hal ini sesuai dengan QS
An-Nissa :63 dan QS.Ibrahim:4.
3. Qaulan Ma’rufa
Kata Qaulan Ma`rufan
disebutkan Allah dalam QS An-Nissa : 5 dan 8, QS. Al-Baqarah : 235 dan 263,
serta Al-Ahzab : 32. Qaulan Ma’rufa artinya perkataan yang baik, ungkapan yang
pantas, santun, menggunakan sindiran (tidak kasar), dan tidak menyakitkan atau
menyinggung perasaan. Qaulan Ma’rufa juga bermakna pembicaraan yang bermanfaat
dan menimbulkan kebaikan (maslahat).
4.
Qaulan Karima
Qaulan Karima adalah
perkataan yang mulia, dibarengi dengan rasa hormat dan mengagungkan, enak
didengar, lemah-lembut, dan bertatakrama. Dalam ayat tersebut perkataan yang
mulia wajib dilakukan saat berbicara dengan kedua orangtua. Kita dilarang
membentak mereka atau mengucapkan kata-kata yang sekiranya menyakiti hati
mereka. Qaulan Karima harus digunakan khususnya saat berkomunikasi dengan
kedua orangtua atau orang yang harus kita hormati. Dalam konteks
jurnalistik dan penyiaran, Qaulan Karima bermakna mengunakan kata-kata yang
santun, tidak kasar, tidak vulgar, dan menghindari “bad taste”, seperti jijik,
muak, ngeri, dan sadis. Hal ini sesuai
dengan QS. Al-Isra : 23.
5.
Qaulan Layina
Qaulan Layina berarti
pembicaraan yang lemah-lembut, dengan suara yang enak didengar, dan penuh
keramahan, sehingga dapat menyentuh hati. Dalam Tafsir Ibnu Katsir disebutkan,
yang dimaksud layina ialah kata kata sindiran, bukan dengan kata kata terus
terang atau lugas, apalagi kasar. Ayat di atas adalah perintah Allah SWT
kepada Nabi Musa dan Harun agar berbicara lemah-lembut, tidak kasar, kepada
Fir’aun. Dengan Qaulan Layina, hati komunikan (orang yang diajak berkomunikasi)
akan merasa tersentuh dan jiwanya tergerak untuk menerima pesan komunikasi
kita.
Dengan demikian, dalam
komunikasi Islam, semaksimal mungkin dihindari kata-kata kasar dan suara
(intonasi) yang bernada keras dan tinggi. Hal ini sesuai dengan QS. Thaha: 44.
6. Qaulan Maysura
Komunikasi merupakan
terjemahan kata communication yang berarti perhubungan atau
perkabaran. Communicate berarti memberitahukan atau
berhubungan. Secara etimologis, komunikasi berasal dari bahasa latin communicatio dengan
kata dasarcommunis yang berarti sama. Secara
terminologis, komunikasi diartikan sebagai pemberitahuan sesuatu (pesan)
dari satu pihak ke pihak lain dengan menggunakan suatu media. Sebagai
makhluk sosial, manusia sering berkomunikasi satu sama lain. Namun, komunikasi
bukan hanya dilakukan oleh manusia saja, tetapi juga dilakukan oleh
makhluk-makhluk yang lainnya. Semut dan lebah dikenal mampu berkomunikasi
dengan baik. Bahkan tumbuh-tumbuhanpun sepertinya mampu
berkomunikasi. (QS. Al-Isra: 28).
Qaulan Maysura bermakna
ucapan yang mudah, yakni mudah dicerna, mudah dimengerti, dan dipahami oleh
komunikan. Makna lainnya adalah kata-kata yang menyenangkan atau berisi hal-hal
yang menggembirakan. Komunikasi dilakukan oleh pihak yang memberitahukan
(komunikator) kepada pihak penerima (komunikan). Komunikasi efektif tejadi
apabila sesuatu (pesan) yang diberitahukan komunikator dapat
diterima dengan baik atau sama oleh komunikan, sehingga tidak terjadi salah
persepsi.
Publizistik Wissenschaft
Lama
sudah ilmu yang mengkaji pernyataan antarmanusia hanya sekitar pernyataan
secara lisan dan secara tatap muka, baik dalam bentuk dialog di antara dua
orang, maupun dalam bentuk kepada sekelompok hadirin. Dan itulah retorika yang
telah dibicarakan di muka.
Pada
tataran selanjutnya, komunikasi antar manusia dikembangkan dalam bentuk media.
Hal ini sesuai dengan metode dakwah yang selama ini dikenal. Pertama, berdakwah
dengan lisan (bil lisan) seperti berceramah, pengajian dan sebagainya. Kedua,
dengan tulisan (bil qalam) atau disebut juga dengan dakwah bittadwin. Berdakwah
dengan tulisan ini bisa melalui surat kabar, majalah, buletin atau brosur.
Jika
ditengok dari sejarahnya, komunikasi melalui media ini berkembang sejak zaman
Romawi Kuno. Tetapi belum dapat dinilai sebagai ilmu, baru merupakan fenomena
atau gejala. Ini terjadi ketika Gaius Julius Caesar (100 – 44 SM), kaisar
Romawi yang termasyur mengeluarkan peraturan agar kegiatan – kegiatan Senat
setiap hari diumumkan kepada masyarakat dengan cara ditempel pada papan
pengumuman yang dinamakan Acta Diurna.
Kegiatan
pemberitaan melalui Acta Diurna ini merupakan cikal bakal yang kita kenal
sekarang sebagai kegiatan jurnalistik, yang dalam buku ini akan dikupas lebih
jauh pada bab tentang pers dan jurnalisitik.
Sampai
abad satu Masehi pernyataan antarmanusia untuk jarak jauh masih dilakukan
dengan menggunakan papyrus atau daun lontar, kulit binatang, logam tipis, dan
lain – lain. Setelah ditemukannya kertas oleh bangsa Cina bernama Ts’ai Lun
pada tahun 105 M, kegiatan itu baru menggunakan kertas. Apabila setelah seorang
berkebangsaan Jerman, Johannes Gunteberg (1400 – 1469) menemukan mesin cetak,
yang mampu melipatgandakan tulisan tercetak, saling menyampaikan pernyataan di
antara manusia semakin banyak.
Fenomena
jurnalistik yang sudah tampak pada Acta Diurna tadi ternyata tidak berkembang
disebabkan kekaisaran Romawi mengalami masa gelap (dark ages).
Baru
tahun 1609 muncul di Jerman surat kabar pertama dalam sejarah dengan menyandang
nama “Avisa Relation Oder Zeitung” disusul oleh “Weekly News” yang diterbitkan
di Inggris pada tahun 1622.
Perkembangan
surat kabar dalam bidang penyebaran informasi itu, ternyata menunjukkan
pengaruhnya yang tidak kecil terhadap pemerintah dan masyarakat, sehingga
mengundang perhatian para cendikiawan untuk mempelajarinya. Lebih – lebih
setelah muncul ungkapan Napoleon Bonaparte yang terkenal yakni menyatakan bahwa
ia lebih takut pada empat surat kabar yang terbit di Paris daripada seratus
serdadu dengan sangkur terhunus. Kegentara kaisar Napolepn yang terpaksa itu
karena surat kabar itu tidak hanya menyebarkan informasi, tetapi juga opini
yang dengan tajam sering mengeritik pemerintah.
Sebagai
hasil telaah para cendikiawan terhadap perkembangan dan pengaruh surat kabar
itu, muncullah di Inggris “Science of the Press”, di Perancis “Science de la
Presse”, di Nederland “Dagbladwtenschap” dan di Jerman Zeitungswissenschaft”,
yang kesemuanya berarti “Ilmu Persuratkabaran”. Ini terjadi pada abad ke 19.
Jelas
bahwa pada waktu itu, persuratkabaran oleh para cendikiawan Eropa sudah
dianggap ilmu (science, wetenschap,
wissenschaft). Sarjana – sarjana yang dikenal giat melibatkan diri dalam
ilmu persuratkabaran itu, antara lain Dr Friedrich Nedebach, Prof Dr N
Devolder, Prof Dr Karl d’Ester, Prof Df Kurt Baschwitz, Dr Maarten Scheiner, Dr
Theo Luykx, AJ Lievegood, Dr HJ Prakke, Wilhelm Bauer, Dr Hanstraub, Prof Dr
Emil Dovivat, dan banyak lagi.
Pada
International Congress of University Teacher of the Science of the Press yang
diadakan di Amsterdam Nederland bulan Mei 1933, Prof Dr Walter Hagemann, guru
besar dalam publisistik di Munster dalam pidatonya mengenai ilmu pers antara
lain mengatakan sebagai berikut:
“Di
Jerman yang dianggap sebagai bapak Zeitungwissenschaft, jadi juga dari
publizistik sebagai perkembangan dari Zeitungwissenschaft, adalah Prof Dr Karl
Bucher, yang namanya sudah tidak asing lagi bagi siapa saja yang pernah
mempelajari dasar – dasar ilmu ekonomi. Adalah Prof Bucher yang pertama kali
mengajarkan ilmu mengenai persuratkabaran pada tingkat universitas, yakni di
Universitas Bazel dalam tahun 1884 yang dikuliahkannya ialah sejarah pers,
organisasi pers, dan statistic pers. Kuliah kemudian dilanjutkan di Universitas
Leipzig sesudah tahun 1892. Di sini ilmunya semakin dikembangkan sehingga
meliputi:
-
Geschichte des Zeitungswesens
-
Organization und Technik des Modernen
Zeitungswesens
-
Presspolitik (Marbangun:24)
Di
atas telah disinggung bahwa publisistik merupakan perkembangan dari
Zeitungwissenschaft. Perkembangan tersebut disebabkan:
Pertama
: Khalayak membutuhkan ilmu pernyataan umum. Kebutuhan tersebut semakin terasa
mendesak ketika radio dan film tampil ke muka sebagai alat pernyataan
publisistik baru.
Kedua
: Meskipun memang Zeitungwissenschaft telah berhasil menjadi suatu ilmu yang
disipliner dengan menggunakan gejala surat kabar sebagai objek penyelidikannya,
namun satu hal yang tak terpang itu – inti daripada segala pernyataan umum
yakni fungsi sosial daripada kata dan makna yang seluas – luasnya. Dan fungsi
sosial ini ialah bahwa alat – alat komunikasi mendukung dan menyatakan segala
isi kesadaran (Bewustseininhalten) yang disampaikan kepada orang – orang lain
dengan tujuan bahwa sikap rohaniah dari dia yang menerima menjadi sama arah
dengan dia yang menyatakannya.
Penyelidikan
dan ajaran secara khusus memperhatikan masalah umum mengenai pengarahan,
penghimpunan dan pemberian pengaruh secara tohaniah, merupakan sebuah ilmu yang
disebut publisistik.
Prof
Dr Walter Hageman yang namanya telah disebut – sebut di muka mendefinisikan
publisistik secara singkat saja, yakni: ajaran tentang pernyataan umum mengenai
isi kesadaran yang actual (die Lehre von der offentichen Aussage aktueller
Bewustseinsinhalte).
Publisistik
mengajarkan bahwa setiap pernyataan kepada umum dengan menggunakan media apa
pun menciptakan suatu hubungan rohaniah antara sis publisis dengan khalayak.
Hubungan rohaniah itu merupakan suatu proses yang menurut Prof Dr Walter
Hagemann terdiri dari tiga fase: das Ereignis, der Empfanger, dan die Wirkung
(Marbangun : 60). Penjelasannya sebagai berikut:
a.
Das
Ereignis (peristiwanya):
Yang dimaksud engan das Ereignis adalah prosese kegiatan
seorang publisis mulai dari peliputan suatu peristiwa di masyarakat melalui
pengolahan di redaksi sampai penyebaran kepada khalayak. Dalam hubungan ini,
peristiwa sebagai fase pertama dari proses publisistik itu diklasifikasikan
sebagai peritiwa primer dan peristiwa sekunder atau dengan ungkapan lain :
peristiwa lagir dan peristiwa batin. Peristiwa lahir adalah suatu yang dapat
ditangkap oleh indera penglihatan yang bersifat kausal, mengandung sebab dan
akibat. Sebaliknya peristiwa batin adalah peristiwa yang abstrak psikologis,
yang terhubungkan dengan kognisi, afeksi, dan konasi. Situasi rohaniah ini
apabila ini apabila diwujudkan ke dalam berita, menjadi informasi dan opini di
mana interpretasi berperan penting.
b.
Der
Empfanger (penerimanya)
Yang dimaksud dengan der Empfanger adalah orang – orang
atuh khalayak yang dijadikan sasaran penyebaran informasi dan opini tadi.
Berita – berita termasa atau actual terjadi secara bersinambung, yang secara
universal mengenai apa saja, kapan saja, dan di mana saja, sejauh peristiwa itu
berkaitan dengan kepentingan manusia.
Penawaran
informasi dan opini kepada khalayak jauh melebihi daya kemampuannya untuk dapat
menerima seluruhnya. Isi kesadaran yang baru mendesak isi kesadaran yang lama.
Ini berarti di antara berita – berita yang menerpa khalayak, ada yang diterima,
tetapi ada juga yang dipertanyakan, disanggah, atau ditolak.
Daya
terima publisistik berbeda antara orang yang satu dengan orang yang lain, yang
dipengaruhi bahkan ditentukan oleh berbagai factor, seperti jenis kelamin,
usia, ideology, dan sebagainya.
c.
De
Wirkung (daya pengaruhnya)
Sebagai komponen ketiga dari proses publisistik, die
Wirkung menunjukkan sejauh mana efek yang timbul pada khalayak yang dijadikan
sasaran publisistik.
Menurut
Hagemann setiap terpaan publisistik yang menimbulkan sikap tertentu pada der
Empfanger yang kemudian berwujud perilaku, disebabkan terutama oleh perasaannya
yang tersentuh keitmbang oleh perasaannya yang tersentuh ketimbang oleh
pikirannya. Sifat emosional ini memungkinkan khalayak bersikap setuju atau
tidak setuju, emnerima atau menolak. Dalam hubungan ini mereka tidak
menyelidiki kebenaran pernyataan yang menerpanya. Mereka belum menjadi subjek
yang bergiat mereka telah meninggalkan kesadaran rasionalnya. Hal ini terutama
berlaku jika suatu pernyataan publisistik memihak secara terang – terangan,
yang mengancam kepentingan rohaniahnya atau kepentingan materialnya, mengajak
khalayak untuk melakukan sesuatu.
Pengaruh
publisistik berlangsung dalam dua dimensi rangkap, meluas dan mendalam.
Ada
pernyataan publisistik yang tersiar dengan cepat, tetapi pernyataan yang sesaat
menggemparkan dapat dibuat tidak berarti oleh pembuktian. Bisa juga pernyataan
itu disusul oleh pernyataan – pernyataan lain yang membuktikan kebalikannya.
Ada
pernyataan yang berdaya pengaruh ke dalam. Maknanya tidak dikenal oleh khalayak
secara keseluruhan. Hanya sekelompok kecil yang tertarik yang karena kemampuan
dan kesungguhannya dalam melakukan pertimbangan, mereka memahami benar makna
pernyataan tersebut, lalu meneruskannya kepada orang lain yang diperkirakan
akan memahami maknanya.
Pernyataan
itu tidak cemerlang, tidak menggelora, dan tidak menimbulkan gerak dinamika
massa, tetapi bergerak maju secara perlahan, luwes, dan halus, sedangkan yang
ditimbulkan adalah kebenaran – kebenaran baru.
Daya
pengaruh publisistik menjadi penting, oleh karena akan mampu memobilisasi opini
public kea rah yang dikehendaki si publisis.
Communication Science
Jika
retorika sebagai ilmu pertama mengenai pernyataan antarmanusia yang berkembang
di Yunani dan Romawi satu arah menuju ke Jerman menjadi publizistikwissenschaft
yang disingkat publisistik, maka arah lain menuju Amerika Serikat. Di benua ini
namnya communication science atau
ilmu komunikasi.
Seperti
halnya ilmu publisistik yang pada mulanya adalah ilmu persuratkabaran, ilmu
komunikasi pun berasal dari aspek persuratkabaran, yakni journalism atau jurnalisme, suatu pengetahuan (knowledge) tentang seluk beluk pemberitaan mulai dari peliputan
bahan berita, melalui pengolahan, sampai penyebaran berita.
Yang
mula – mula mendambakan adanya sekolah jurnalistik sebagai lembaga pendidikan
untuk meningkatkan pengetahuan para wartawan dan calon wartawan adalah Joseph
Pulitzer pada tahun 1903. Gagasan Pulitzer ini mendapat tanggapan positif dari
Charles Eliot dan Nicholas Murray Butler, masing – masing rektor Harvard
University dan Columbia University. Oleh karena disiarkan media surat kabar
itu, ternyata tidak hanya informasi hasil kegiatan jurnalistik semata – mata
maka berkembanglah penyiaran pernyataan manusia tersebut menjadi “mass media
communication” (media komunikasi massa) yang untuk memudahkannya sering disingkat
menjadi komunikasi massa.
Yang
oleh pakar dianggap “mass media” (media massa) adalah surat kabar, radio,
televise, dan film, oleh karena memiliki ciri – ciri khas yang tidak dimiliki
oleh media komunikasi lainnya seperti poster, pamphlet, surat, telepon, dan
sebagainya.
Dalam
perkembangan selanjutnya akibat pengaruh kemajuan teknologi komunikasi, istilah
mass communication dianggap tidak
tepat lagi karena ternyata tidak lagi merupakan proses yang total. Penelitian
yang dilakukan oleh Paul Lazarsfeld, Bernard Berelson, Hazel Gaudet, Elihu
Katz, Wilbur Schramm, dan lainnya menunjukkan bahwa fenomena sosial akibat
terpaan media massa hanya merupakan satu tahap saja; ada tahap kedua, ketiga
dan tahap – tahap berikutnya yang meneruskan pesan – pesan dari media massa
dari mulut ke mulut yang justru dampaknya sangat besar. Pengambilan keputusan
banyak dilakukan atas dasar komunikasi antar pribadi secara tatap muka.
Dalam
proses komunikasi secara total, komunikasi melalui media massa hanya merupakan
satu dimensi saja; ada dimensi – dimensi lainnya yang menjadi objek studi suatu
ilmu. Dan ilmu mempelajari dan menelitinya bukan Mass Communication Science,
melainkan Communication Science yang lebih luas yang menelaah mass
communication, group communication, dan lain – lain.
Pada
tahun 1960 Carl I Hovland dalam karyanya “Social Communication” munculah
istilah “science of communication” yang ia definisikan sebagai: suatu upaya
yang sistematis untuk merumuskan dengan cara yang setepat – tepatnya asas –
asas pentransmisian informasi serta pembentukan opini dan sikap.
Pada
decade 1960 – an itu tidak sedikit ilmuan – ilmuan disiplin ilmu lain yang
menganggap bahwa komunikasi itu bukan ilmu dengan alas an komunikasi belum
memenuhi persyaratan sebagai ilmu.
Tetapi
pakar komunikasi tidak mempedulikan kritik pakar disiplin ilmu lain, sebab
komunikasi dianggapnya sudah menjadi ilmu. Yang lebih penting bagi para pakar
komunikasi adalah apakah komunikasi itu mampu memecahkan masalah sosial atau
tidak. Pada tahun 1967 terbit buku berjudul “The Communicative Arts of Science
of Speech” yang ditulis oleh Keith Brooks, yang menampilkan paparannya mengenai
komunikologi secara luas. Mengenai komunikologi (ilmu komunikasi) Brooks
menyatakan sebagai berikut:
Pada
tahun terakhir ini banyak cendikiawan komunikasi dari berbagai disiplin ilmu
yang mengkontribusikan kepada pemahaman kita landasan proses serta tipe – tipe
dan bentuk – bentuk aktivitas komunikasi. Komunikologi berkaitan dengan
integrasi asas – asas komunikasi dari para cendikiawan itu. Juga komunikologi
berarti filsafat komunikasi yang realistis, program penelitian yang sistematis
yang menguji teori – teorinya, menutupi kesenjangan – kesenjangan dalam
pengetahuan, menafsirkan dan mengabsahkan penemuannya ke dalam disiplin dan
penelitian yang khusus. Ia menyajikan program yang luas yang meliputi tetapi
tidak membatasi dirinya kepentingan – kepentingan atau teknik – teknik setiap
disiplin ilmu.
Dalam
pada itu Joseph A Devito juga seperti halnya Keith Brooks mengetengahkan
istilah komunikologi untuk ilmu komunikasi itu. Dalam bukunya “Communicology:
An Introduction to the Study of Communication” ia menjelaskan pengertian
komunikologi sebagai berikut:
Komunikologi
adalah suatu studi tentang ilmu komunikasi, secara khusus subseksinya berkaitan
dengan komunikasi oleh dan diantara manusia – manusia. Komunikolog mengacu
kepada mahasiswa – peneliti – teoritikus, atau untuk lebih ringkasnya,
cendikiawan komunikasi.
Anggapan
bahwasannya komunikasi itu sudah menjadi ilmu terbukti dengan terbitnya buku
berjudul “Message Effect in Communication Science” pada tahun 1989 dengan James
J Bradac sebagai editor.
Dalam
buku tersebut sebelas pakar komunikasi dari berbagai universitas kenamaan di
Amerika Serikat memberikan kontribusinya mengenai aspek pesan dan efek dari
proses komunikasi.
Uraian
di atas menunjukkan kepada para peminat komunikasi bahwa komunikasi itu tanpa
harus diragukan lagi adalah memang ilmu, dan mereka yang bukan orang komunikasi
tidak perlu mempertanyakannya lagi.
Jurnalistik Islam
Beberapa
tokoh mendefinisikan jurnalistik Islam antara lain:
Emha
Ainun Nadjib menyatakan bahwa jurnalistik islam adalah tekhnologi dan
sosialisasi informasi ( dalam kegiatan penerbitan tulisan) dan mengabdikan diri
pada nilai agama islam bagaimana dan kemana semestinya manusia, masyarakat,
kebudayaan dan peradaban mengarahkan dirinya.
Sedangkan
A. Muis mengatakan bahwa jurnalistik Islam adalah menyebarkan atau menyampaikan
informasi kepada pendengar,pemirsa, atau pembaca tentang perintah dan larangan Allah
Swt ( Al-Qur’an dan Al-Hadist).
Sementara
itu Dedy Djamaluddin Malik mendefinisikan jurnalistik Islam sebagai proses
meliput, mengolah dan menyebarluaskan berbagai peristiwa yang menyangkut umat
Islam kepada khalayak. Jurnalistik Islami adalah crusade journalism, yaitu
jurnalistik yang memperjuangkan nilai-nilai tertentu, yakni nilai-nilai Islam.
Menurut
Asep Syamsul M. Romli jurnalis muslim adalah sosok juru dakwah (da’i) di bidang
pers, yakni mengemban dakwah bil qolam ( dakwah melalui tulisan). Ia adalah
jurnalis yang terikat oleh nilai-nilai, norma, dan etika Islam.
Urgensitas & Problematika
Jurnalistik Islam
Pers
memiliki peran yang cukup besar dalam merekayasa pola kehidupan suatu
masyarakat. termasuk salah satunya, dalam memberikan pengetahuan dalam
membingkai pengalaman keagamaan.
Dewasa
ini, dapat dikatakan pers Islam kalah unggul dan kalah pamor oleh pers umum.
Banyak factor yang mengakibatkan lemah dan terpinggirkannya pers Islam, antara
lain:
1. Kurang
atau lemahnya dukungan dana.
2. Lemahnya
manajemen akibat kurang/tidak profesionalnya para pengelola,sehingga gaya
bahasa, tekhnik penulisan, pemilihan dan pemilahan topic, serta tampilan produk
termasuk perwajahan kurang atau tidak menarik perhatian dan minat membaca
orang.
3. Masih
lemahnya kesadaran informative umat islam akan masalah-masalah ke-Islaman.
Mereka masih lebih tertarik oleh informasi non-Islam, atau lebih senang
membaca/membeli pers umum.
Untuk
mengatasi problematika tersebut maka diperlukan peranan para jurnalis Muslim
dan media massa yang akan menjadi wadahnya.
Jurnalis Muslim
Jurnalis
muslim laksana “penyambung lidah” para nabi dan ulama. Karena itu, iapun
dituntut untuk memiliki sifat-sifat kenabian, seperti shidiq, amanah, Tabligh,
dan Fathonah.
Shidiq
artinya benar, yakni menginformasikan yang benar saja dan membela serta
menegakkan kebenaran itu. Standar kebenarannya tentu saja kesesuaian dengan
ajaran Islam al-Qur’an dan As-Sunnah.
Amanah
artinya terpercaya, karenanya tidak boleh berdusta, memanipulasi atau
mendistorsi fakta, dan sebagainya.
Tabligh
artinya menyampaikan,yakni menginformasikan kebenaran, tidak menyembunyikannya.
Fathonah
artinya cerdaas dan berwawasan luas. Jurnalis muslim dituntut mampu
menganalisis dan membaca situasi, termasuk membaca apa yang diperlukan umat.
Sementara
itu, setidaknya ada lima peranan jurnalis Muslim, yaitu:
1. Sebagai pendidik
(Muaddib), yaitu melaksanakan fungsi edukasi yang Islami. Ia harus
lebih menguasai ajarabn Islam dan rata-rata khalayak pembaca. Lewat media
massa, ia mendidik umat Islam agar melaksanakan perintah Allah SWT dan menjauhi
larangan-Nya. Ia memikul tugas mulia untuk mencegah umat Islam dari berperilaku
yang menyimpang dari syariat Islam, juga melindungi umat dari pengaruh buruk
media massa non-Islami yang anti-Islam.
2. Sebagai Pelurus Informasi
(Musaddid). Setidaknya ada tiga hal yang harus diluruskan oleh para
jurnalis Muslim. Pertama, informasi tentang ajaran dan umat Islam. Kedua,
informasi tentang karya-karya atau prestasi umat Islam. Ketiga, lebih dari itu
jurnalis Muslim dituntut mampu menggali –melakukan investigative reporting–
tentang kondisi umat Islam di berbagai penjuru dunia. Peran Musaddid terasa
relevansi dan urgensinya mengingat informasi tentang Islam dan umatnya yang
datang dari pers Barat biasanya biased (menyimpang, berat sebelah) dan
distorsif, manipulatif, alias penuh rekayasa untuk memojokkan Islam yang tidak
disukainya. Di sini, jurnalis Muslim dituntut berusaha mengikis fobi Islam
(Islamophobia) yang merupakan produk propaganda pers Barat yang anti-Islam.
3. Sebagai Pembaharu
(Mujaddid), yakni penyebar paham pembaharuan akan pemahaman dan
pengamalan ajaran Islam (reformisme Islam). Jurnalis Muslim hendaknya menjadi
“jurubicara” para pembaharu, yang menyerukan umat Islam memegang teguh al-Quran
dan as-Sunnah, memurnikan pemahaman tentang Islam dan pengamalannya
(membersihkannya dari bid’ah, khurafat, tahayul, dan isme-isme asing
non-Islami), dan menerapkannya dalam segala aspek kehidupan umat.
4. Sebagai Pemersatu
(Muwahid), yaitu harus mampu menjadi jembatan yang mempersatukan
umat Islam. Oleh karena itu, kode etik jurnalistik yang berupa impartiality
(tidak memihak pada golongan tertentu dan menyajikan dua sisi dari setiap
informasi [both side information] harus ditegakkan. Jurnalis Muslim harus
membuang jauh-jauh sikap sektarian yang baik secara ideal maupun komersial
tidaklah menguntungkan (Jalaluddin Rakhmat dalam Rusjdi Hamka & Rafiq, 1989).
5. Sebagai Pejuang (Mujahid),
yaitu pejuang-pembela Islam. Melaui media massa, jurnalis Muslim berusaha keras
membentuk pendapat umum yang mendorong penegakkan nilai-nilai Islam,
menyemarakkan syiar Islam, mempromosikan citra Islam yang positif dan rahmatan lil’alamin,
serta menanamkan ruhul jihad di kalangan umat.
Peran Jurnalistik Islam
Dalam
bukunya yang berjudul Jurnalistik Islam : Panduan Praktis bagi Para Aktivis
Muslim, Ahmad Y Samantho berpandangan terdapat 12 peranan penting yang
dimainkan oleh Jurnalis Islam di dunia jurnalistik, diantaranya sebagai
berikut:
1.
Mendidik
Masyarakat Islam
Para
jurnalis atau wartawan Islam – sebagaimana para guru dan para ulama – juga
berkewajiban dan dapat berperan sebagai pendidik umat. Mendidik umat yang
dimaksud di sini adalah dalam pengertian yang luas, yakni membina peradaban
umat atau menjadikan umat menjadi beradab sehingga terbentuklah masyarakat
madani (berperadaban). Dengan berbagai informasi yang dimilikinya dan
bermanfaat bagi masyarakat dan umat Islam, para jurnalis Muslim secara tidak
langsung melalui media massanya dapat dan wajib berperan mendidik dan
mencerdaskan umat Islam dan memberikan pencerahan intelektual maupun ruhaniah.
Membebaskan umat dari kebodohan dan kejahiliahan adalah kewajiban setiap insan Muslim,
apa pun profesinya.
2.
Mencari
dan mengenali informasi / pengetahuan serta member dan menyebarkan informasi (ta’lim) yang benar dan bermanfaat.
Para
jurnalis atau wartawan Muslim, karena tuntutan profesinya selalu tergerak untuk
mencari dan menggali berbagai informasi atau ilmu pengetahuan sebanyak mungkin
dia mampu. Modal utama yang biasanya ada pada diri setiap besar. Sifat ini
adalah sifat yang umum pada setiap manusia. Namun, sifat ini lebih kuat dan
menonjol pada diri insane pers, jurnalis atau wartawan, sebagai mana juga pada
diri para ulama, ilmuan dan cendikiawan. Terlebih lagi sifat ini melekat erat
pada diri seorang jurnalis Muslim.
Peran
para jurnalis Muslim, sebagaimana juga para ulama Islam dalam mencari dan
menggali informasi atau ilmu pengetahuan untuk kemudia menyebarkan atau
menyampaikannya kepada masyarakat. Secara eksplisit (tersurat) maupun implicit
(tersirat) diungkapkan dalam beberapa ayat seperti QS. At – Taubah : 112, QS Al
– Baqarah : 129, dan QS An – Nahl : 125.
3.
Melakukan
seleksi, filterisasi dan check and
recheck (tabayyun) terhadap berbagai informasi global untuk membentengi
umat Islam dari pengauh buruk informasi.
Para
wartawan atau jurnalis Muslim, karena pekerjaannya yang selalu bergelut di
lautan banjir informasi, maka ia pun berkewajiban melakukan filterisasi dan seleksi (penyaringan dan
pemilihan) dari lautan informasi yang membanjir di dunia pada saat ini. Tidak
semua informasi yang ada itu baik, benar dan bermanfaat bagi setiap individu
dan umat Islam. Informasi yang bersifat fitnah, hasud, atau dakwah syaitaniah
(seperti kemaksiatan, pornografi, kefasikan, kemusrikan dan khufarat) harus
ditelei dan dicekal agar ridak menyebar di kalangan umat Islam. Fungsi
penelitian, penyaringan dan pemilihan informasi ini, dikenal dengan istilah tabayyun sebagai mana disebutkan Alla
SWT dalam QS Al – Hujarat : 6 dan QS Az – Zumar : 18.
4.
Mengajak
dan menasehati umat dengan cara yang baik untuk mengikuti jalan hidup Islam
yang diridhai Allah (dakwah ilallah).
Dahwah
Islamiah adalah mengajak umat manusia untuk mengikuti dan mengamalkan ajaran
Islam. Inilah sebaik – baiknya ajakan / seruan yang dilakukan manusia, sebagai
mana yang tercantum dalam QS Al – Fishshilat : 33.
Dengan
cara persuasi dan argumentasi yang baik melalui tulisannya di media massa,
seorang jurnalis Muslim juga mempunyai peran dan kewajiban dakwah di jalan
Allah, baik secara halus, samar, dan tersirat, maupun secara terang – terangan.
Strategi, taktik, dan teknik – teknik psikolgi komunikasi yang baik dapat
digunakan untuk mengajak umat Islam dan masyarakat manusia pada umumnya untuk
mengikuti jalan hidup dan hokum yang diridhai Allah SWT, demi kesejahteraan
manusia itu sendiri dan kesejahteraan alam semesta (rahmatan lil ‘ alamin) seperti yang terdapat dalam QS An – Nahl : 125).
5.
Menyampaikan
dan membela kebenaran (tawashaw bil – haq)
Sebagaimana
diakui secara universal bahwa membela kebenaran dan menentang kebatilan adalah
tugas utama jurnalistik atau pers, maka terlebih lagi bagi jurnalis atau insane
pers, tugas membela kebenaran ini lebih utama dan penting dilakukan. Hal ini
merupakan perintah Allah SWT dalam ayat yang terdapat di QS. Al – Ashr : 1 – 3.
Fungsi
control sosial atau pengawasan oleh masyarakat adalah merupakan fungsi
terpenting dalam menjaga keadilah, keselarasan dan keberlangsungan suatu sistem
peradaban masyarakat yang meliputi subsistem : ideologi, politik, ekonomi,
sosial, pertahanan – keamanan, pendidikan dan budaya. Jurnalis Muslim harus
kritis dalam menyikapi berbagai perkembangan di masyarakat. Dia tidak layak
larut dalam arus informasi dan budaya yang tidak Islami. Menegakkan keadalian
dan kebenaran adalah orientasi utama profesi dan pengabdiannya.
6.
Membela
dan menegakkan keadilan sosial bagi umat Islam dan bagi seluruh rakyat di
Indonesia maupun di dunia
Terkait
dengan tugas dan perannya sebagai pembela kebenaran dan kebatilan, maka fungsi
dan peran proaktif para jurnalis Muslim dalam menegakkan keadilan, adalah
misi/kewajiban utama setiap Muslim, terlebih lagi bagi jurnalis Islam (QS. An –
Nisa : 135).
7.
Memberikan
kesaksian atau mengungkap fakta dengan adil
Kejujuran
dalam mengungkap fakta atas suatu peristiwa atau informasi adalah kebutuhan
universal masyarakat yang sehat. Jurnalis Muslim dapat berperan untuk menjaga
kejujuran di masyarakat dan melawan kebohongan – kebohongan yang membodohi dan
menipu masyarakat. Dengan dilaksanakan fungsi atau peran pemelihara dan penjaga
kejujuran ini maka masyarakat tidak akan dihancurkan pada praktek KKN yang
melahirkan ketidakadilan sosial yang menyengsarakan rakyat banyak. Allah SWT
telah menegaskan hal ini dalam QS An – Nisa : 135 dan QS Al – Kahfi : 59.
8.
Menceritakan
kebaikan (amar ma’ruf) dan mencegah
kemungkaran (nahyi munkar)
Demi
terperiharanya masyarakat dari kehancurannya maka fungsi control sosial atau
lebih khusus lagi fungsi amar ma’ruf
nahyi munkar oleh para jurnalis Islam, bersama dengan seluruh komponen
masyarakat Muslim lainnya haruslah tetap tegak. (QS Ali Imran : 110 dan QS Al –
A’raf 156 – 157).
9.
Menghalalkan
yang baik dan mengharamkan yang buruk
Jurnalis
Islam melalui tulisan atau tayangan di media massa punya peran dan kewajiban
untuk menularkan kebaikan dan mempromosikan kehalalan segala sesuatu baik dalam
hal makanan, ucapan, perbuatan ataupun sikap dan mengharamkan segala keburukan
bagi masyarakat (QS Al – A’ raf : 157).
10. Memberi peringatan kepada para pelaku
kejahatan / dosa (nadziran), member
kabar gembira / hiburan kepada para pelaku kebaikan (basyiran)
Sebagai
seorang Muslim, maka para jurnalis Islam lebih mempunyai peluang kesempatan dan
sarana untuk meneruskan tugas para nabi, yaitu memberikan peringatan kepada
para pelaku kejahatan dan member kebar gembira / hibungan kepada para pelaku
kebaikan. (QS Al Baqarah : 213, QS At – Taubah : 122, dan QS Al – Hajj : 34).
11. Membela kepentingan kaum yang lemah (imdad al – mustadh ‘ afin) dan
membebaskan umat dari beban dan belenggu yang memasung mereka
Karena
informasi pada saat ini adalah suatu kekuatan/kekuasaan, maka para jurnalis
Muslim yang menguasai informasi pun wajib memanfaatkan kekuatannya itu untuk
membela kaum yang lemah dan kaum yang dilemahkan (dhuafa dan mustadh’afin)
sesuai QS Al – Araf : 157.
12. Memelihara dan menjaga persatuan dan
kesatuan umat Islam
Karena
peranan dan efek informasi yang multiface, yang bisa membawa manfaat dan
berkah, tetapi juga dapat membawa fitnah dan laknak, maka para jurnalis Islam
selayaknya menentukan kualitas isis dan pengaruh / efek dari informasi yang
disebarluaskannya. Dalam kondisi perang budaya atau perang pemikiran di tengah
era globalisasi informasi memasuki millennium ketiga kini, maka para jurnalis
Muslim berada di garis depan pertempuran perang informasi. Perannya sangat
strategis dalam menjaga dan memelihara persatuan dan kesatuan barisan umat
Islam, melalui penyeleksian dan penyaringan informais negative dan penyebaran
informasi yang benar dan bermanfaat bagi umat (QS Ali Imran : 103 dan QS Ash –
Shaf : 4).
PENUTUP
Kesimpulan
Berdaasarkan
dari pembahasan di atas maka kita dapat menyimpulkan bahwa jurnalistik Islam
merupakan proses pemberitaan atau pelaporan tentang berbagai hal yang sarat
dengan muatan nilai-nilai Islam.
Dari
pengataman penulis, perkembangan jurnalistik Islam masih kalah dengan
jurnalistik pada umumnya. Beberapa penyebab diantaranya adalah kurang atau
lemahnya dukungan dana, lemahnya manajemen akibat kurang/tidak profesionalnya
para pengelola, serta masih lemahnya kesadaran informatif umat islam akan
masalah-masalah ke-Islaman.
Hal
ini tentunya menjadi tantangan tersendiri bagi Jurnalis Muslim. Maka dari itu,
dalam menjalankan tugaskan, para Jurnalis Muslim diharapkan mampu menjalankan
perannya sebagai pelurus informasi (Musaddid), sebagai pembaharu (Mujaddid), sebagai
pemersatu (Muwahid), dan sebagai pejuang (Mujahid).
Saran
Saran yang penulis rekomendasikan
adalah mengemas produk dan aktivitas jurnalistik sebaik mungkin sehingga dapat
terlaksana fleksibel dan mampu mengisi setiap ruangan yang berhubungan dengan
dunia jurnalistik pada umumnya, seperti hubungan baik dengan pemerintah, pemirsa,
maupun pengiklan.
Dengan begitu, produk jurnalistik
Islami yang ditawarkan pada masyarakat akan digemari dan agenda dakwah
menebarkan nilai – nilai kebaikan juga dapat terpenuhi.
Komentar
Posting Komentar