Teori Pers

Sejak adanya “kuli tinta” pertama pada zaman Romawi Kuno, perkembangan pers semakin berkembang dengan pesat. Bill Kovach dan Tom Rosentstiel mencatat bahwa pada akhir abad pertengahan, pesan atau berita datang dalam bentuk cerita, dalam balada-balada yang disenangdungkan para pengamen keliling. Apa yang mungkin dianggap sebagai jurnalisme modern mulai muncul pada awal abad ke-17 dan betul-betul lahir dari perbincangan, terutama di tempat public seperti kade di Inggris, kemudian di kedai-kedai minum di Amerika. Surat kebar pertama muncul dari kafe-kafe di Inggris sekitar tahun 1609, ketika percetakan mulai mengumpulkan berita perkapalan, gossip, dan argumen politik (Zaenudin, 2011:1) sehingga muncullah pers. Sepanjang perjalanan pers, sejak awalnya hingga kini, berbagai falsafah tabf dianut pers memunculkan teori yang disebut teori pers. Teori ini biasanya disesuaikan dengan zaman dan negeri tempat pers tumbuh dan berkembang.
Menurut Modry (2009:59) setidaknya ada empat teori pers yang diterapkan di baik di Negara maju maupun di Negara berkembang. Keempat teori tersebut diantaranya teori pers ototitarian, libertarian, tanggung jawab sosial, dan komunis. Berikut penulis mencoba menguraikan keempat teori tersebut.

1.1.1.1.       Teori Pers Otoritarian
Siebert (dalam Mondry, 2009:60) mengungkapkan teori ini muncul pada zaman Renaissance, sekitar abad ke-16 dan 17, yang bermula di Inggris. Konsep ini membentuk pola asli sebagian besar sistem pers nasional di dunia yang hingga kini masih ada. Teori ini berasal dari filsafat kekuasaan monarki absolute, kekuasaan pemerintah absolute atau keduanya yang dianut negara (kerajaan) masa lalu. Tujuan utama teori ini mendukung dan memajukan kebijakan peerintah yang berkuasa dan mengabdi kepada negara.
Dalam negara yang bersifat otoriter, kewenangan untuk menyampaikan sesuatu ahnya berpola top down, artinya hanya negara yang berhak bersuara, akibatnya pers hanyalah salah satu saran informasi dari penguasa kepada rakyat. Mereka yang berkesempatan memiliki media massa hanya orang atau kelompok yang mendapat izin dari pemerintah untuk mendirikan lembaga pers, tetapi dengan syarat, memiliki tujuan seperti yang telah ditetapkan yaitu menjadi “corong” pemerintah. Berarti tidak boleh mengiritik mekanisme politik dan para pejabat yang berkuasa. Seandainya hal itu dilanggar, tentu ada sanksinya, bisa saja izinnya dicabut.
            Indonesia sendiri mengalami masa pers otoritarian ini pada saat Orde Baru di mana pemerintahan dipimpin oleh Presiden Soeharto. Pada masa tersebut banyak ahli yang mengungkapkan masa galap gulita, sebab ruang gerak pers sangat terbatas dalam menyuarakan suara rakyat. Jika sedikit saja pers mengkritik kinerja pemerintah, maka tidak segan pers akan dibredel, bahkan ada sebagai wartawan yang bahkan dipenjara. Namun, masa tersebut berakhir pada saat reformasi, setelah Soeharto lengser dari kursi presiden.

1.1.1.2.       Teori Pers Libertarian
Teori Libertarian menurut Siebert (dalam Mondry, 2009:61) tumbuh sekitar akhir abad ke-17, tetapi baru berkembang pada abad ke-19. Teori ini merupakan kebalikan dari teori pertama. Dalam pandangan filsafat, manusia bukanlah makhluk tergantung yang perlu dituntun dan diarahkan. Manusia makhluk berakal, yang mampu membedakan benar dan salah, bisa memilih alternative baik dan buruk seandainya dihadapkan kepada beberapa alternative. Kebenaran tidak lahi dianggap milik penguasa, mencari kebenaran merupakan salah satu hak asasi manusia.
Tujuan utama pers masa itu, member informasi, menghibur, dan “berjualan”, tetapi yang paling diutamakan adalah bertujuan menemukan kebenaran dan mengawasi pemerintahan. Jika dalam teori pertama, kontrol dilakukan oleh pemerintah, maka pada masa ini kontrol dilakukan oleh “diri sendiri” melalui proses penelusuran guna memperoleh kebenaran dalam pasar “ide yang bebas” atau melalui pengadilan, seadndainya ada pihak yang merasa dirugikan.
Intinya, media massa menurut teori ini merupakan alat untuk mengawasi pemerintah dan memenuhi kebutuhan-kebutuhan lain dari masyarakat.

1.1.1.3.       Teori Pers Tanggung Jawab Sosial (Social Responsibility)
Perkembangan berikutnya, pada abad ke-20, orang secara bertahap mulai menjauhi libertarian murni, berganti dnegan teori pers tanggungjawab sosial. Teori ini memiliki asumsi utama; dalam kebebasan terkandung tanggungjawab yang seimbang sehingga pers yang liberal seharusnya juga bertanggung jawab terhadap masyarakat dalam melaksanakan fungsi-fungsi yang dimilikinya.Teori pers tanggung jawab sosial menerima peran pers dalam melayani system politik, member penerangan kepada masyarakat dan menjaga hak perorangan (Mondry, 2009:64).
Berdasarkan teori tersebut, Santana (dalam Mondry, 2009:65) meringkas beberapa faktor, meliputi berikut ini:
1.1.1.3.1.   Media menerima dan memenuhi kewajiban tertentu kepada masyarakatnya.
1.1.1.3.2.   Penetapan bentuk kewajiban berdasar standar profesi tentang informasi, kebenaran, ketepatan, objektivitas, dan keseimbangan.
1.1.1.3.3.   Pelaksanaan kewajiban tersebut berdasarkan kerangka hokum dan kelembagaan yang ada.
1.1.1.3.4.   Penegasan pers untuk menghindari kejahatan, kerusakan atau ketidaktertiban umum atau penghinaan etik dan agama dari kalangan minoritas.
1.1.1.3.5.   Pers harus memiliki sifat pluralis, sesuai perbedaan di masyarakat melalui kesamaan peluang untuk mengungkapkan sudut pandang dan hak jawab pada tiap warga atau kelompok di masyarakat.
1.1.1.3.6.   Masyarakat dan public mengharapkan kerja dan produk pers dibatasi ukuran standar profesi sehingga kegiatan intervensu seperti itu dibenarkan demi kepentingan umum.
1.1.1.3.7.   Profesionalisme wartawan dan media bertanggung jawab terhadap masyarakat, “majikan” dan pasar.

1.1.1.4.       Teori Pers Soviet Komunis
Dalam system negara Soviet, tidak ada teori komunikasi dan teori negara, hanya ada satu teori, yaitu komunis. Tanggung jawab utama pengawasan pers Soviet ada di tangan partai, bukan pada pemerintah. Pemerintah Soviet memiliki bagian penyensoran yang dinamakan Glatvit. Penempatan redaksi media massa dilakukan departemen propaganda dan agitasi dengan pertimbangan utama secara politis dapat dipercaya dan hamper semuanya anggota partai.
Melalui departemen yang sama, partai mengeluarkan arahan yang menentukan bahan apa yang harus dimuat dan bagaimana memuatnya. Sebagian besar isi media massa itu merupakan apa yang dikenal dengan siaran pers-antara lain pidato pejabat dan dokumen resmi yang sering kali petunjuk penyajiannya sangat rinci. Partai juga meneliti dan mengritik oers dengan tanggung jawab yang dilaksanakan secara sangat serius.

Isi surat kabar Soviet juga berbeda dengan media negara lain, tidak ada iklannya. Sebagian besar atau mungkin satu-satunya bahan berita media massa di Uni Soviet adalah proses yang dinamakan pembangunan sosialis, berupa usaha umum untuk membangun masyarakat Soviet. Sebagian besar isi surat kabar itu bukan berita, hanya materi “pelayanan” terhadao oartai. Kondisi seperti ini juga diberlakukan bagi radio dan televisi yang berkembang kemudian di negara itu.  

Komentar

Postingan Populer