SEJARAH KEBERADAAN ILMU KOMUNIKASI
STUDI FENOMENA PERNYATAAN ANTAR MANUSIA
Dalam buku Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi, Prof Onong
Uchjana Effendy MA menjelaskan mengenai studi fenomena pernyataan antar
manusia, membahas soal perkembangan komunikasi dari fenomena ke ilmu yang
selanjutnya menjadi buku rujukan utama pembuatan tugas ini.
Menurut Onong, perkembangan komunikasi dimulai tatkala Adam
AS dan Hawa oleh Allah SWT diturunkan ke dunia, manusia pertama dan kedua yang
menjadi suami istri itu dalam keadaan terpisah, sehingga satu sama lain saling
mencari.
Setelah berhari – hari naik – turun bukit menjelajahi
hamparan pasir akhirnya kedua insane itu bertemulah di suatu padang tandus
dekat sebuah bukit. Akhirnya kedua insan itu bertemu. Betapa girangnya saat
bisa mengungkapkan isi hati yang sekian lama terpendam, merupakan pernyataan
antarmanusia yang sangat bermakna. Fenomena tersebut kelak di kemudian hari
menjadi bahan telaah manusia – manusia berikutnya sebagai keturunan Adam AS dan
Hawa itu.
Apabila pada mulanya pengungkapan pikiran dan perasaan
manusia pertama dan kedua itu, berkisar pada kepentingan individual yang
sederhana, maka pada masa – masa berikutnya, jumlah manusia semakin lama
semakin banyak, menjadi suatu masyarakat yang luas dan kompleks sehingga satu
sama lain tidak saling mengenal secara akrab, bahkan tidak jarang terjadi
pertentangan. Maka pikiran seseorang yang dipengaruhi oleh perasaan itu dapat
berupa idea tau gagasan, informasi atau keterangan/penerangan, himbauan,
permohonan, saran, usul, bahkan perintah. Maka dalam interaksianya manusia –
manusia dalam masyarakat itu ketika saling menyampaikan pikirannya tidak lagi
memberitahu agar lawan bicaranya menjadi tahu, tidak lagi member pengertian
agar lawan cakapnya mengerti, tetapi mempengaruhi agar lawan perbincangannya
melakukan sesuatu.
Sampai sekitar tahun 500 Sebelum Masehi fenomena sosial
seperti itu belum ada yang menelaahnya dan belum ada ilmunya untuk menelaahnya.
RETORIKA
Pada abad ke lima Sebelum Masehi untuk pertama kali dikenal
suatu ilmu yang mengkaji proses pernyataan antarmanusia sebagai fenomena sosial
tadi. Ilmu ini dinamakan dalam bahasa Yunani “rhetorike” yang dikembangkan di
Yunani Purba, yang kemudian pada abad – abad berikutnya dimekarkan di Romawi
dengan nama dalam bahasa Latin “rhetorika” (dalam bahasa Inggris “rhetoric” dan
dalam bahasa Indonesia “retorika”).
Di Yunani, negara asal yang mengembangkan retorika
dipelopori oleh Georgias (480 – 370) yang dianggap sebagai guru retorika
pertama dalam sejarah manusia yang mempelajari dan menelaah proses pernyataan
antar manusia.
Dimulainya perngembangan retorika sebagai seni bicara di
Yunani itu, adalah ketika kaum sofis di saat mengembara dari tempat satu ke
tempat lain, mengajarkan pengetahuan mengenai politik dan pemerintahan. Kaum
sofis menyatakan bahwa pemerintah harus berdasarkan suara rakyat terbanyak atau
demokrasi yang berarti pemerintahan rakyat. Untuk itu diperlukan pemilihan.
Maka berkembanglah seni pidato, yang demi tercapainya tujuan kadang membenarkan
pemutarbalikan kenyataan, yang penting khalayak tertarik perhatiannya dan terbujuk.
Filsafat sofisme yang dicerminkan oleh Georgia situ
berlawanan dengan pendapat Protagoras (500 – 432) dan Socrates (469 – 399).
Protagoras mengatakan bahwa kemahiran berbicara bukan demi kemenangan,
melainkan demi keindahan bahasa. Sedangkan bagi Socrates, retorika adalah demi kebenaran dengan dialog sebagai
tekniknya, karena dengan dialog, kebenaran akan timbul dengan sendirinya.
Para pakar retorika lainnya adalah Isocrates dan Plato yang
keduanya dipengaruhi oleh Georgias dan Socrates. Mereka ini berpendapat bahwa
retorika berperan penting bagi persiapan seseorang untuk menjadi pemimpin.
Plato yang murid utama Socrates menyatakan bahwa pentingnya retorika adalah
sebagai metode pendidikan dalam rangkai mencapai kedudukan dalam pemerintahan
dan dalam rangka mempengaruhi rakyat.
Puncak peranan retorika sebagai ilmu pernyataan antar
manusia ditandai oleh munculnya Demosthenes dan Aristoteles. Demosthenes (384 –
322) di zaman Yunani itu termasyur karena kegigihan mempertahankan kemerdekaan
Athena dari ancaman raja Philipus dari Macedonia. Pada waktu itu telah menjadi
anggapan umum bahwa di mana terdapat sistem pemerintahan yang berkedaulatan
rakyat, di situ harus ada pemilihan berkala dari rakyat dan oleh rakyat untuk
memilih pemimpinnya. Di mana demokrasi menjadi sistem pemerintahan, di situ
masyarakat memerlukan orang – orang yang mahir berbicara di depan umum.
PUBLIZISTIK
WISSENSCHAFT
Lama sudah ilmu yang mengkaji pernyataan antarmanusia hanya
sekitar pernyataan secara lisan dan secara tatap muka, baik dalam bentuk dialog
di antara dua orang, maupun dalam bentuk kepada sekelompok hadirin. Dan itulah
retorika yang telah dibicarakan di muka.
Walaupun pada zaman Romawi sudah berkembang proses
pernyataan melalui media, tetapi belum dapat dinilai sebagai ilmu, baru
merupakan fenomena atau gejala. Ini terjadi ketika Gaius Julius Caesar (100 –
44 SM), kaisar Romawi yang termasyur mengeluarkan peraturan agar kegiatan –
kegiatan Senat setiap hari diumumkan kepada masyarakat dengan cara ditempel
pada papan pengumuman yang dinamakan Acta
Diurna.
Kegiatan pemberitaan melalui Acta Diurna ini merupakan
cikal bakal yang kita kenal sekarang sebagai kegiatan jurnalistik, yang dalam
buku ini akan dikupas lebih jauh pada bab tentang pers dan jurnalisitik.
Sampai abad satu Masehi pernyataan antarmanusia untuk jarak
jauh masih dilakukan dengan menggunakan papyrus atau daun lontar, kulit
binatang, logam tipis, dan lain – lain. Setelah ditemukannya kertas oleh bangsa
Cina bernama Ts’ai Lun pada tahun 105 M, kegiatan itu baru menggunakan kertas.
Apabila setelah seorang berkebangsaan Jerman, Johannes Gunteberg (1400 – 1469)
menemukan mesin cetak, yang mampu melipatgandakan tulisan tercetak, saling
menyampaikan pernyataan di antara manusia semakin banyak.
Fenomena jurnalistik yang sudah tampak pada Acta Diurna tadi
ternyata tidak berkembang disebabkan kekaisaran Romawi mengalami masa gelap (dark ages).
Baru tahun 1609 muncul di Jerman surat kabar pertama dalam
sejarah dengan menyandang nama “Avisa Relation Oder Zeitung” disusul oleh
“Weekly News” yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1622.
Perkembangan surat kabar dalam bidang penyebaran informasi
itu, ternyata menunjukkan pengaruhnya yang tidak kecil terhadap pemerintah dan
masyarakat, sehingga mengundang perhatian para cendikiawan untuk
mempelajarinya. Lebih – lebih setelah muncul ungkapan Napoleon Bonaparte yang
terkenal yakni menyatakan bahwa ia lebih takut pada empat surat kabar yang
terbit di Paris daripada seratus serdadu dengan sangkur terhunus. Kegentara
kaisar Napolepn yang terpaksa itu karena surat kabar itu tidak hanya
menyebarkan informasi, tetapi juga opini yang dengan tajam sering mengeritik
pemerintah.
Sebagai hasil telaah para cendikiawan terhadap perkembangan
dan pengaruh surat kabar itu, muncullah di Inggris “Science of the Press”, di
Perancis “Science de la Presse”, di Nederland “Dagbladwtenschap” dan di Jerman
Zeitungswissenschaft”, yang kesemuanya berarti “Ilmu Persuratkabaran”. Ini
terjadi pada abad ke 19.
Jelas bahwa pada waktu itu, persuratkabaran oleh para cendikiawan
Eropa sudah dianggap ilmu (science,
wetenschap, wissenschaft). Sarjana – sarjana yang dikenal giat melibatkan
diri dalam ilmu persuratkabaran itu, antara lain Dr Friedrich Nedebach, Prof Dr
N Devolder, Prof Dr Karl d’Ester, Prof Df Kurt Baschwitz, Dr Maarten Scheiner,
Dr Theo Luykx, AJ Lievegood, Dr HJ Prakke, Wilhelm Bauer, Dr Hanstraub, Prof Dr
Emil Dovivat, dan banyak lagi.
Pada International Congress of University Teacher of the
Science of the Press yang diadakan di Amsterdam Nederland bulan Mei 1933, Prof
Dr Walter Hagemann, guru besar dalam publisistik di Munster dalam pidatonya
mengenai ilmu pers antara lain mengatakan sebagai berikut:
“Di Jerman yang dianggap sebagai bapak Zeitungwissenschaft,
jadi juga dari publizistik sebagai perkembangan dari Zeitungwissenschaft,
adalah Prof Dr Karl Bucher, yang namanya sudah tidak asing lagi bagi siapa saja
yang pernah mempelajari dasar – dasar ilmu ekonomi. Adalah Prof Bucher yang
pertama kali mengajarkan ilmu mengenai persuratkabaran pada tingkat universitas,
yakni di Universitas Bazel dalam tahun 1884 yang dikuliahkannya ialah sejarah
pers, organisasi pers, dan statistic pers. Kuliah kemudian dilanjutkan di
Universitas Leipzig sesudah tahun 1892. Di sini ilmunya semakin dikembangkan
sehingga meliputi:
-
Geschichte des Zeitungswesens
-
Organization und Technik des Modernen
Zeitungswesens
-
Presspolitik (Marbangun:24)
Di atas telah disinggung bahwa publisistik merupakan
perkembangan dari Zeitungwissenschaft. Perkembangan tersebut disebabkan:
Pertama : Khalayak membutuhkan ilmu pernyataan umum.
Kebutuhan tersebut semakin terasa mendesak ketika radio dan film tampil ke muka
sebagai alat pernyataan publisistik baru.
Kedua : Meskipun memang Zeitungwissenschaft telah berhasil
menjadi suatu ilmu yang disipliner dengan menggunakan gejala surat kabar
sebagai objek penyelidikannya, namun satu hal yang tak terpang itu – inti
daripada segala pernyataan umum yakni fungsi sosial daripada kata dan makna
yang seluas – luasnya. Dan fungsi sosial ini ialah bahwa alat – alat komunikasi
mendukung dan menyatakan segala isi kesadaran (Bewustseininhalten) yang
disampaikan kepada orang – orang lain dengan tujuan bahwa sikap rohaniah dari
dia yang menerima menjadi sama arah dengan dia yang menyatakannya.
Penyelidikan dan ajaran secara khusus memperhatikan masalah
umum mengenai pengarahan, penghimpunan dan pemberian pengaruh secara tohaniah,
merupakan sebuah ilmu yang disebut publisistik.
Prof Dr Walter Hageman yang namanya telah disebut – sebut di
muka mendefinisikan publisistik secara singkat saja, yakni: ajaran tentang
pernyataan umum mengenai isi kesadaran yang actual (die Lehre von der
offentichen Aussage aktueller Bewustseinsinhalte).
Publisistik mengajarkan bahwa setiap pernyataan kepada umum
dengan menggunakan media apa pun menciptakan suatu hubungan rohaniah antara sis
publisis dengan khalayak. Hubungan rohaniah itu merupakan suatu proses yang
menurut Prof Dr Walter Hagemann terdiri dari tiga fase: das Ereignis, der
Empfanger, dan die Wirkung (Marbangun : 60). Penjelasannya sebagai berikut:
a.
Das Ereignis (peristiwanya):
Yang dimaksud engan das Ereignis adalah
prosese kegiatan seorang publisis mulai dari peliputan suatu peristiwa di
masyarakat melalui pengolahan di redaksi sampai penyebaran kepada khalayak.
Dalam hubungan ini, peristiwa sebagai fase pertama dari proses publisistik itu
diklasifikasikan sebagai peritiwa primer dan peristiwa sekunder atau dengan
ungkapan lain : peristiwa lagir dan peristiwa batin. Peristiwa lahir adalah
suatu yang dapat ditangkap oleh indera penglihatan yang bersifat kausal,
mengandung sebab dan akibat. Sebaliknya peristiwa batin adalah peristiwa yang
abstrak psikologis, yang terhubungkan dengan kognisi, afeksi, dan konasi.
Situasi rohaniah ini apabila ini apabila diwujudkan ke dalam berita, menjadi
informasi dan opini di mana interpretasi berperan penting.
b.
Der Empfanger (penerimanya)
Yang dimaksud dengan der Empfanger adalah
orang – orang atuh khalayak yang dijadikan sasaran penyebaran informasi dan
opini tadi. Berita – berita termasa atau actual terjadi secara bersinambung,
yang secara universal mengenai apa saja, kapan saja, dan di mana saja, sejauh
peristiwa itu berkaitan dengan kepentingan manusia.
Penawaran informasi dan opini kepada
khalayak jauh melebihi daya kemampuannya untuk dapat menerima seluruhnya. Isi
kesadaran yang baru mendesak isi kesadaran yang lama. Ini berarti di antara
berita – berita yang menerpa khalayak, ada yang diterima, tetapi ada juga yang
dipertanyakan, disanggah, atau ditolak.
Daya terima publisistik berbeda antara
orang yang satu dengan orang yang lain, yang dipengaruhi bahkan ditentukan oleh
berbagai factor, seperti jenis kelamin, usia, ideology, dan sebagainya.
c.
De Wirkung (daya pengaruhnya)
Sebagai komponen ketiga dari proses
publisistik, die Wirkung menunjukkan sejauh mana efek yang timbul pada khalayak
yang dijadikan sasaran publisistik.
Menurut Hagemann setiap terpaan publisistik yang menimbulkan
sikap tertentu pada der Empfanger yang kemudian berwujud perilaku, disebabkan
terutama oleh perasaannya yang tersentuh keitmbang oleh perasaannya yang
tersentuh ketimbang oleh pikirannya. Sifat emosional ini memungkinkan khalayak
bersikap setuju atau tidak setuju, emnerima atau menolak. Dalam hubungan ini
mereka tidak menyelidiki kebenaran pernyataan yang menerpanya. Mereka belum menjadi
subjek yang bergiat mereka telah meninggalkan kesadaran rasionalnya. Hal ini
terutama berlaku jika suatu pernyataan publisistik memihak secara terang –
terangan, yang mengancam kepentingan rohaniahnya atau kepentingan materialnya,
mengajak khalayak untuk melakukan sesuatu.
Pengaruh publisistik berlangsung dalam dua dimensi rangkap,
meluas dan mendalam.
Ada pernyataan publisistik yang tersiar dengan cepat, tetapi
pernyataan yang sesaat menggemparkan dapat dibuat tidak berarti oleh
pembuktian. Bisa juga pernyataan itu disusul oleh pernyataan – pernyataan lain
yang membuktikan kebalikannya.
Ada pernyataan yang berdaya pengaruh ke dalam. Maknanya
tidak dikenal oleh khalayak secara keseluruhan. Hanya sekelompok kecil yang
tertarik yang karena kemampuan dan kesungguhannya dalam melakukan pertimbangan,
mereka memahami benar makna pernyataan tersebut, lalu meneruskannya kepada
orang lain yang diperkirakan akan memahami maknanya.
Pernyataan itu tidak cemerlang, tidak menggelora, dan tidak
menimbulkan gerak dinamika massa, tetapi bergerak maju secara perlahan, luwes,
dan halus, sedangkan yang ditimbulkan adalah kebenaran – kebenaran baru.
Daya pengaruh publisistik menjadi penting, oleh karena akan
mampu memobilisasi opini public kea rah yang dikehendaki si publisis.
COMMUNICATION SCIENCE
Jika retorika sebagai ilmu pertama mengenai pernyataan
antarmanusia yang berkembang di Yunani dan Romawi satu arah menuju ke Jerman
menjadi publizistikwissenschaft yang disingkat publisistik, maka arah lain
menuju Amerika Serikat. Di benua ini namnya communication
science atau ilmu komunikasi.
Seperti halnya ilmu publisistik yang pada mulanya adalah
ilmu persuratkabaran, ilmu komunikasi pun berasal dari aspek persuratkabaran,
yakni journalism atau jurnalisme,
suatu pengetahuan (knowledge) tentang
seluk beluk pemberitaan mulai dari peliputan bahan berita, melalui pengolahan,
sampai penyebaran berita.
Yang mula – mula mendambakan adanya sekolah jurnalistik
sebagai lembaga pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan para wartawan dan calon
wartawan adalah Joseph Pulitzer pada tahun 1903. Gagasan Pulitzer ini mendapat
tanggapan positif dari Charles Eliot dan Nicholas Murray Butler, masing –
masing rektor Harvard University dan Columbia University. Oleh karena disiarkan
media surat kabar itu, ternyata tidak hanya informasi hasil kegiatan
jurnalistik semata – mata maka berkembanglah penyiaran pernyataan manusia
tersebut menjadi “mass media communication” (media komunikasi massa) yang untuk
memudahkannya sering disingkat menjadi komunikasi massa.
Yang oleh pakar dianggap “mass media” (media massa) adalah
surat kabar, radio, televise, dan film, oleh karena memiliki ciri – ciri khas
yang tidak dimiliki oleh media komunikasi lainnya seperti poster, pamphlet,
surat, telepon, dan sebagainya.
Dalam perkembangan selanjutnya akibat pengaruh kemajuan
teknologi komunikasi, istilah mass
communication dianggap tidak tepat lagi karena ternyata tidak lagi
merupakan proses yang total. Penelitian yang dilakukan oleh Paul Lazarsfeld,
Bernard Berelson, Hazel Gaudet, Elihu Katz, Wilbur Schramm, dan lainnya
menunjukkan bahwa fenomena sosial akibat terpaan media massa hanya merupakan
satu tahap saja; ada tahap kedua, ketiga dan tahap – tahap berikutnya yang
meneruskan pesan – pesan dari media massa dari mulut ke mulut yang justru
dampaknya sangat besar. Pengambilan keputusan banyak dilakukan atas dasar
komunikasi antar pribadi secara tatap muka.
Dalam proses komunikasi secara total, komunikasi melalui
media massa hanya merupakan satu dimensi saja; ada dimensi – dimensi lainnya
yang menjadi objek studi suatu ilmu. Dan ilmu mempelajari dan menelitinya bukan
Mass Communication Science, melainkan Communication Science yang lebih luas
yang menelaah mass communication, group communication, dan lain – lain.
Pada tahun 1960 Carl I Hovland dalam karyanya “Social
Communication” munculah istilah “science of communication” yang ia definisikan
sebagai: suatu upaya yang sistematis untuk merumuskan dengan cara yang setepat
– tepatnya asas – asas pentransmisian informasi serta pembentukan opini dan
sikap.
Pada decade 1960 – an itu tidak sedikit ilmuan – ilmuan
disiplin ilmu lain yang menganggap bahwa komunikasi itu bukan ilmu dengan alas
an komunikasi belum memenuhi persyaratan sebagai ilmu.
Tetapi pakar komunikasi tidak mempedulikan kritik pakar
disiplin ilmu lain, sebab komunikasi dianggapnya sudah menjadi ilmu. Yang lebih
penting bagi para pakar komunikasi adalah apakah komunikasi itu mampu
memecahkan masalah sosial atau tidak. Pada tahun 1967 terbit buku berjudul “The
Communicative Arts of Science of Speech” yang ditulis oleh Keith Brooks, yang
menampilkan paparannya mengenai komunikologi secara luas. Mengenai komunikologi
(ilmu komunikasi) Brooks menyatakan sebagai berikut:
Pada tahun terakhir ini banyak cendikiawan komunikasi dari
berbagai disiplin ilmu yang mengkontribusikan kepada pemahaman kita landasan
proses serta tipe – tipe dan bentuk – bentuk aktivitas komunikasi. Komunikologi
berkaitan dengan integrasi asas – asas komunikasi dari para cendikiawan itu.
Juga komunikologi berarti filsafat komunikasi yang realistis, program
penelitian yang sistematis yang menguji teori – teorinya, menutupi kesenjangan
– kesenjangan dalam pengetahuan, menafsirkan dan mengabsahkan penemuannya ke
dalam disiplin dan penelitian yang khusus. Ia menyajikan program yang luas yang
meliputi tetapi tidak membatasi dirinya kepentingan – kepentingan atau teknik –
teknik setiap disiplin ilmu.
Dalam pada itu Joseph A Devito juga seperti halnya Keith
Brooks mengetengahkan istilah komunikologi untuk ilmu komunikasi itu. Dalam
bukunya “Communicology: An Introduction to the Study of Communication” ia
menjelaskan pengertian komunikologi sebagai berikut:
Komunikologi adalah suatu studi tentang ilmu komunikasi,
secara khusus subseksinya berkaitan dengan komunikasi oleh dan diantara manusia
– manusia. Komunikolog mengacu kepada mahasiswa – peneliti – teoritikus, atau
untuk lebih ringkasnya, cendikiawan komunikasi.
Anggapan bahwasannya komunikasi itu sudah menjadi ilmu
terbukti dengan terbitnya buku berjudul “Message Effect in Communication
Science” pada tahun 1989 dengan James J Bradac sebagai editor.
Dalam buku tersebut sebelas pakar komunikasi dari berbagai
universitas kenamaan di Amerika Serikat memberikan kontribusinya mengenai aspek
pesan dan efek dari proses komunikasi.
Uraian di atas menunjukkan kepada para peminat komunikasi
bahwa komunikasi itu tanpa harus diragukan lagi adalah memang ilmu, dan mereka
yang bukan orang komunikasi tidak perlu mempertanyakannya lagi.
Komentar
Posting Komentar